Melawan Bullying Melalui Konsep Keadilan Alquran

8 hours ago 3

Oleh Asep Awaludin, Dosen Universitas Darussalam Gontor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bullying atau perundungan, terus meningkat sebagai salah satu isu sosial paling destruktif yang merajalela di lingkungan sekolah, tempat kerja, hingga platform daring. Akhir-akhir ini, kasus-kasusnya marak diberitakan di berbagai media massa sosial, bahkan sampai berujung pada hilangnya nyawa.

Dampak yang ditimbulkan, mulai dari trauma emosional hingga luka psikologis jangka panjang, menuntut adanya pendekatan moral yang lebih dalam, melampaui sekadar mekanisme hukum dan intervensi perilaku biasa. Etika Islam, khususnya melalui konsep keadilan Al-Qur'an (al-'adl), menawarkan lensa moral yang komprehensif untuk memperkaya diskusi modern tentang pencegahan bullying. Menariknya, penekanan pada keadilan dan martabat ini tidak hanya bergema kuat dalam Islam, tetapi juga beresonansi di agama-agama lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, bahkan dalam Stoikisme klasik, yang secara bersama-sama membentuk fondasi moral universal untuk mengatasi krisis ini.

Dalam Islam, keadilan bukanlah sekadar keadilan prosedural semata, melainkan sebuah perintah langsung dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Di dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan, "Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan, kebajikan, dan pemberian bantuan kepada kerabat, dan melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan" (QS. An-Nahl: 90).

Setiap tindakan bullying, baik itu verbal, digital, maupun fisik, secara langsung masuk ke dalam ranah ẓulm, sebuah bentuk penindasan, karena melanggar martabat dan keamanan dasar yang wajib diberikan kepada setiap individu. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam turut memperkuat etika ini dengan pernyataan tegas: "Seorang Muslim (yang sejati) adalah orang yang kaum Muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya" (Muttafaq 'alaih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, keselamatan pribadi orang lain menjadi sebuah kewajiban moral yang mengikat, bukan sekadar kebajikan yang bersifat opsional.

Kepedulian untuk melindungi martabat manusia ini dalam perspektif Kekristenan, yang mengajarkan bahwa setiap individu dijadikan imago Dei, dalam gambaran Tuhan. Oleh karena itu, kata-kata yang merendahkan dipandang sebagai luka moral yang ditimbulkan pada ciptaan ilahi. Ajaran Yesus, "Berbahagialah pembawa damai," menempatkan tindakan kebaikan dan rekonsiliasi kecil sebagai tugas rohani. Dalam konteks kontemporer, etika Kristen mengundang individu untuk menahan dorongan berbahaya dan memperlakukan musuh dengan belas kasihan, memberikan kerangka kerja yang kuat melawan permusuhan yang didorong oleh intimidasi.

Dalam sistem kepercayaan lainnya seperti Buddhisme, bullying berasal dari keadaan mental yang tidak sehat seperti kebencian, ketidaktahuan, dan keinginan akan kekuasaan. Ajaran Buddha menekankan welas asih (karuṇā) dan tidak menyakiti (ahiṃsā), mendorong praktisi untuk menumbuhkan kesadaran tentang bagaimana tindakan mereka bergema melalui kehidupan orang lain. Gagasan bahwa "semua makhluk takut akan kekerasan" mengundang refleksi diri sebelum berbicara atau bertindak kasar. Seperti muraqabah dalam Islam, kesadaran bahwa Tuhan menyaksikan setiap tindakan, kesadaran Buddha mencegah dorongan berbahaya dan mendorong perilaku empati.

Keadilan Islam juga sejalan dengan ajaran Hindu tentang dharma, yang membingkai perilaku etis, tanggung jawab sosial, dan non-kekerasan sebagai tugas penting. Bhagavad Gita menekankan pengendalian diri, kerendahan hati, dan rasa hormat terhadap semua makhluk. Bullying, yang berusaha untuk meremehkan orang lain, secara langsung bertentangan dengan cita-cita Hindu untuk melihat kehadiran ilahi (ātman) dalam diri setiap individu. Mengenali kesatuan ciptaan mempromosikan pengekangan dan empati, sifat-sifat penting untuk membangun komunitas bebas perundungan.

Bahkan Stoisisme, tradisi filosofis yang sedang diminati oleh kaum muda saat ini memperkuat visi moral yang sama. Stoik seperti Marcus Aurelius mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh bertindak karena kemarahan atau keinginan untuk mendominasi orang lain. Setiap manusia adalah bagian dari komunitas moral bersama yang diatur oleh akal. Bullying mewakili kegagalan akal, penguasaan diri, dan kebajikan. Seperti yang diperingatkan Epictetus, "Tidak ada orang yang bebas yang tidak menguasai dirinya sendiri." Ini berbicara langsung ke akar psikologis bullying: rasa tidak aman, emosi yang tidak terkendali, dan gagasan palsu tentang superioritas.

Meskipun tradisi-tradisi ini berbeda dalam ranah teologi, mereka menyatu pada satu kebenaran moral: bahwa martabat itu merupakan hal yang sacral. Darinya, menyakiti orang lain adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan sendiri. Landasan etis bersama ini memperkuat seruan Islam untuk keadilan, sementara juga memperkaya wacana publik dengan resonansi lintas keyakinan dan filosofis.

Dalam ranah pendidikan, keadilan Islam dapat memainkan peran ganda, yaitu preventif dan restoratif. Nabi menekankan tarbiyah al-akhlaq – pembentukan karakter – sebagai hal penting untuk memelihara individu yang bertanggung jawab. Sekolah dan universitas dapat membuat program berbasis nilai yang mengintegrasikan etika Islam dengan prinsip-prinsip universal seperti kasih sayang, empati, dan akuntabilitas. Lingkaran restoratif, dialog reflektif, dan pendampingan sebaya selaras dengan visi Al-Qur'an untuk memperbaiki bahaya daripada hanya menghukum pelanggar.

Prinsip maṣlaḥah, mempromosikan kebaikan public, mendorong kerangka kerja anti-bullying yang komprehensif. Hal ini dapat diterapkan dalam pengambilan sebuah kebijakan yang efektif, dimana tidak hanya menanggapi insiden tetapi juga menumbuhkan lingkungan sosial yang mencegah perilaku berbahaya. Ketika diperkuat oleh wawasan dari penekanan Kristen pada cinta, welas asih Buddhisme, kewajiban atman Hindu, dan integritas pribadi Stoisisme, maka suatu kebijakan diperkuat oleh perangkat moral yang lebih luas untuk mengatasi bullying di tingkat struktural dan budaya.

Pada akhirnya, mencegah bullying membutuhkan lebih dari sekadar peraturan, namun juga membutuhkan visi moral. Konsep keadilan Islam, yang diperkuat oleh wawasan paralel dari tradisi dan keyakinan lain, memberikan kerangka etika holistik yang mampu membentuk kembali hati, institusi, dan masyarakat. Kita dapat menumbuhkan komunitas di mana martabat dilindungi dengan merangkul warisan moral bersama ini. Walhasil, menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, tidak bisa tidak utnuk dinormalisasi, sehingga tidak ada siapapun yang dipaksa untuk menderita dalam diam.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|