Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi global sedang berada di titik balik akibat perang dagang, ketegangan geopolitik, dan dampak Pandemi COVID-19. Peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam beberapa tahun terakhir pun menciptakan lingkungan ekonomi yang tidak stabil, hingga ketidakpastian.
Ketidakpastian inipun mendorong berbagai negara lebih protektif terhadap kondisi perekonomian dalam negerinya. Hal ini pun mendorong perang tarif dan kebijakan proteksionis, yang menjadi masalah global dan bisa berujung pada resesi, salah satunya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Untuk itu, langkah Amerika Serikat (AS) dan China sedikit meredakan ketegangan untuk sementara waktu, meski ketidakpastian tetap membayangi pertumbuhan ekonomi global.
'Gencatan senjata' antara AS dan Tiongkok juga menjadi penekanan pentingnya pilihan kebijakan yang tepat-pilihan yang akan menentukan apakah negara-negara hanya akan bertahan hidup atau berkembang di era baru ini.
Menghadapi berbagai ketidakpastian ini, Ekonom legendaris AS Arthur B. Laffer mengungkapkan sejarah memberikan gambaran jelas bahwa konflik ekonomi seringkali menyebabkan krisis yang lebih luas. Misalnya saja, pada era 1930-an, meningkatnya hambatan perdagangan dan proteksionisme berujung pada 'the great depression' atau resesi ekonomi hebat yang menyebar di seluruh dunia. Resesi ini biasanya pun berujung pada konflik global yang lebih besar.
Laffer mengungkapkan saat ini dunia menghadapi konvergensi risiko ekonomi dan politik yang serupa, mulai dari tekanan inflasi, pertumbuhan yang stagnan di negara-negara maju, volatilitas dalam neraca perdagangan, dan mata uang yang terdepresiasi.
"Negara-negara seperti Jerman dan Selandia Baru bahkan telah memasuki resesi. Amerika Serikat dan China ekonominya juga melambat. Semua ini terjadi sementara dunia masih dalam tahap pemulihan dari trauma ekonomi akibat pandemi," tulis Laffer dikutip, Kamis (12/6/2025).
Dalam kondisi, pilihan kebijakan menjadi lebih penting dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dia menegaskan keputusan yang dibuat hari ini akan menentukan apakah negara hanya akan bertahan menghadapi badai atau bangkit lebih kuat setelah melewatinya.
Untuk itu, Mantan penasihat Presiden Ronald Reagan ini pun mendorong pendekatan yang berbeda, yakni supply-side economics-sebuah filosofi yang menekankan pentingnya insentif, produktivitas, dan ruang bagi sektor riil untuk tumbuh dari hulu ke hilir. Dia juga menekankan, respons yang tepat terhadap ketidakpastian ini bukanlah lebih banyak campur tangan pemerintah, melainkan lebih banyak kebebasan ekonomi.
Dia menilai, inilah saat yang tepat untuk kembali ke supply-side economics yang menekankan insentif sebagai kekuatan untuk mendorong pertumbuhan, inovasi, dan kemakmuran. Filosofi ini juga menekankan bagaimana pelaku ekonomi merespons insentif.
Laffer pun menggagas Laffer Curve yang menggambarkan bahwa tarif perpajakan yang terlalu tinggi justru dapat menurunkan penerimaan negara dan menghambat aktivitas pendapatan kena pajak.
"Pajak bukan segalanya, tapi jika salah kelola, bisa jadi bumerang," ungkap Laffer dikutip Kamis (12/6/2025).
Menurutnya ada beberapa negara yang berhasil menerapkan pajak rendah, namun berhasil meningkatkan pendapatan. Negara-negara seperti Irlandia dan Singapura telah menerapkan rezim pajak yang rendah dan efisien serta kebijakan yang pro-pertumbuhan.
"Negara-negara ini tidak tumbuh dengan mengenakan pajak lebih tinggi. Mereka tumbuh dengan menciptakan lingkungan tempat bisnis dapat berkembang dan individu diberikan apresiasi karena telah bekerja, menabung, dan berinvestasi," ujarnya.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
HIPMI Kasih Rekomendasi Ini Buat Hadapi Ketidakpastian Ekonomi