Fieldtrip Perkuat Kesiapan Geopark Jogja Jadi Warisan Dunia

2 hours ago 7

Fieldtrip Perkuat Kesiapan Geopark Jogja Jadi Warisan Dunia Rombongan fieldtrip saat meninjau Gumuk Pasir, Kamis (18/9/2025). - Harian Jogja - Lugas Subarkah

JOGJA—Pemda DIY terus memperkuat kesiapan Geopark Jogja untuk mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan dunia. Pada pekan ini digelar seminar dan fieldtrip ke sejumlah situs untuk meninjau dan memastikan kesiapannya.

Fieldtrip digelar oleh Badan Pengelola Geopark Jogja dengan melibatkan sejumlah akademisi yang tergabung dalam Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Fieldtrip hari pertama Rabu (17/9/2025), diawali dari Kali Adem Merapi. Selain untuk mencari penguatan aspek lapangan yang menjadi bukti material sumber awal sumbu imajiner yang menjadi faktor utama pembentukan Bumi Jogja, juga mengunjungi beberapa candi yang terkubur material Merapi. Langkah ini sebagai validasi hubung kait antara aktivitas geologi dan peradaban manusia dari masa ke masa. Di seputar Ratu Boko, fieltrip dilakukan untuk melakukan penggambaran alur distribusi material Merapi melalui sungai-sungai yang ada dan menjadi alat transportasi pembentukan Bumi Jogja.

Kamis (18/9/2025), di hari kedua fieldtrip ini menyasar ke geosite Gumuk Pasir dan beberapa objek pendukung lainnya. tujuan pertama yakni Gua Jepang di Pundong, Bantul. Situs ini bukan merupakan geosite dalam Geopark Jogja, melainkan view point.

Dari situs yang terletak di perbukitan ini kita dapat melihat garis. tujuan pertama yakni Gua Jepang di Pundong, Bantul. Situs ini bukan merupakan geosite dalam Geopark Jogja, melainkan view point.

Dari situs yang terletak di perbukitan ini kita dapat melihat garis imajiner yang merentang dari pantai selatan hingga Gunung Merapi di sisi utara. Garis imajiner merupakan konsep yang diangkat dalam Geopark Jogja sebagai garis yang menciptakan harmoni antara Gunung Merapi, Jogja dan pantai selatan.

Dalam Geopark Jogja, Gunung Merapi merupakan sumber, Jogja adalah tempat pendistribusian dan pantai selatan adalah tempat sedimentasi. Material yang dimuntahkan dalam erupsi Gunung Merapi turun dan didistribusikan ke sungai-sungai yang mengalir di Jogja hingga sampai ke pantai selatan.

Di situ pasir dikembalikan oleh angin laut kembali menguruk daerah pesisir dan menjadi gumuk pasir. Tanpa keberadaan salah satu dari ketiga unsur tersebut, maka tidak akan jadi garis imajiner ini. Di sepanjang garis itu, bermunculan berbagai aktivitas kehidupan manusia.

General Manager Badan Pengelola Geopark Jogja, Dihin Nabrijanto, menjelaskan Jogja dianugerahi alam yang bagus dan peradaban sejak abad pertama sampai hari ini dianggap peradaban yang tinggi. “Dari pra Mataram, Mataram Kuno kemudian Mataram Islam itu nyambung. Itu merupakan sebuah heritage yang sudah diakui UNESCO,” katanya.

Beberapa warisan budaya yang sudah diakui UNESCO di antaranya Candi Prambanan, Cagar Biosfer Merapi-Merbabu-Menoreh dan Sumbu Filosofis. “Geopark merangkum semua, ada alam, keanekaragaman hayati dan budaya manusia. Ini merupakan puncak bagaimana kita merawat Bumi dan peradaban Jogja yang masih berjalan sampai hari ini,” ungkapnya.

BACA JUGA: Pemkot Magelang Gandeng Pemuda Atasi Krisis Sampah

Orientasi dari pengakuan internasional ini adalah pada pelestarian sehingga manusia di Bumi Jogja bisa hidup dengan berkelanjutan.

Adapun fieldtrip ini diperlukan untuk menyusun International Significant Value dengan tema Harmoni Keistimewaan Merapi sampai Gumuk Pasir. “Kita ingin menunjukkan bahwa material Merapi itu keluar dari sumber, kemudian tertransfer dan tersedimentasi ini menjadi satu cerita bagaimana Bumi Jogja itu terbentuk dan hidup peradaban di atasnya,” ujarnya.

Garis imajiner ini berbeda dengan Sumbu Filosofi. Sumbu Filosofi yang sudah lebih dulu diakui UNESCO lebih menekankan pada microcosmos atau kehidupan manusianya. Sedangkan garis imajiner lebiih pada macrocosmos atau jagat besar.

Dari Gua Jepang Pundong, fieldtrip dilanjutkan ke gumuk pasir dan Balai Geospasial Pesisir dan Gumuk Pasir (BGPGP). Gumuk Pasir yang berada di sepanjang pesisir Parangtritis-Parangkusumo ini merupakan salah satu dari 15 geosite. Ia terbentuk atas hasil sedimentasi material dari Gunung Merapi yang dibawa turun melalui sungai-sungai.

Sayangnya keberadaan gumuk pasir terus menyusut akibat aktivitas manusia seperti penambangan pasir di sungai-sungai di atasnya, pariwisata dengan lintasan jip dan pendirian warung-warung hingga penanaman vegetasi seperti pohon cemara.

Pada saat mengunjungi lokasi ini, aktivitas wisata dengan jip masih cukup masif. Puluhan wisatawan terlihat menaiki jip dan melewati kawasan gumuk pasir.

Di sisi lain, beberapa vegetasi mulai dibersihkan dengan penebangan pohon cemara menggunakan alat berat.

Kepala BGPGP, Seto Baruno, menuturkan hasil dari pemetaan foto udara pada Juli 2025 menunjukkan area Gumuk Pasir yang semakin kecil dibanding tahun-tahun yang lalu. Dulu Gumuk Pasir melebar di sepanjang pantai, tetapi sekarang sebagian besar sudah tertutup vegetasi dan menyisakan area kacil di bagian tengah. “Sekarang sedang dilakukan pembersihan [vegetasi]. Harapannya mungkin lima tahun lagi semoga sudah bisa kembali bersih. Kalau dibanding 10 tahun lalu, vegetasi di kawasan gumuk pasir sekarang semakin padat,” ungkapnya.

Untuk keperluan Aspiring UNESCO Global Geopark, ia memastikan BGPGP siap memberikan data-data terbaru yang dibutuhkan. “Kami memiliki data geospasial dalam bentuk peta Gumuk Pasir. Ada yang berupa foto udara, data 3D dan survei material transpor pasir,” kata dia.

Dosen Geologi UPN Veteran Yogyakarta yang tergabung dalam IAGI, M Gazali Rachman, mengatakan selain untuk pelestarian, Geopark Jogja juga bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat akan potensi bencana yang dimiliki baik dari Gunung Merapi, sungai maupun pantai selatan.

“Dari ketiga elemen itu, potensi bencananya berbeda-beda. Sumber itu potensinya erupsi, letusan dan sebagainya. Kemudian di daerah distribusi potensinya adalah banjir ketika hujan dan sungai penuh material. Di ujung, kalau ada aktivitas kegempaan berpotensi tsunami,” katanya.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di pantai selatan Jogja pernah terjadi tsunami purba dengan jauh gelombang sampai 2 km dari bibir pantai. “Penelitian dari BRIN tsunami terakhir terjadi sekitar tahun 1600-1700,” ungkapnya.

Maka dengan diakuinya oleh internasional, diharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya merawat dan memitigasi potensi bencana di sepanjang garis imajiner ini dapat menguat. Kehidupan masyarakat juga bisa semakin harmonis dengan alam. (Advertorial)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|