Harianjogja.com, JAKARTA—Kanker paru masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Para ahli menekankan pentingnya deteksi dini menggunakan Computerized Tomography (CT) scan dosis rendah untuk meningkatkan peluang kesembuhan.
Penyakit kanker paru dapat berkembang cepat dan menyerang bagian lain dari tubuh, menjadikannya salah satu jenis kanker paling mematikan di dunia.
Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan) 2022, dalam lima tahun terakhir (2018-2022), terdapat 2,48 juta kasus kanker paru atau sekitar 12,5 persen dari total kasus kanker di dunia, menjadikannya sebagai jenis kanker dengan jumlah kasus tertinggi secara global.
Di Indonesia, tren ini juga meningkat signifikan, dengan jumlah kasus baru naik dari 30.023 pada 2018 menjadi 38.904 kasus pada 2022, atau sekitar 9,5 persen dari total seluruh kasus kanker.
Senior Consultant in Medical Oncology Parkway Cancer Centre (PCC) Dr. Lim Hong Liang, menjelaskan kanker paru terjadi ketika sel abnormal tumbuh tanpa kendali di jaringan paru dan dapat menyebar ke organ lain seperti otak, tulang, dan hati.
Dia menyebut gejala awal kerap diabaikan karena mirip dengan penyakit pernapasan biasa. "Batuk berkepanjangan, sesak napas, atau nyeri dada sering dianggap sepele, padahal bisa menjadi tanda awal kanker paru," kata dia Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Terdapat dua tipe utama kanker paru, yakni Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) yang mencakup lebih dari 80 persen kasus dan berkembang lebih lambat, serta Small Cell Lung Cancer (SCLC) yang bersifat lebih agresif.
Dia menekankan pentingnya deteksi dini melalui Computerized Tomography (CT) scan dosis rendah, yang terbukti mampu mendeteksi kanker paru sebelum muncul gejala klinis.
"Deteksi dini meningkatkan peluang kesembuhan secara signifikan. Semakin cepat kanker ditemukan, semakin besar kemungkinan untuk diobati dengan efektif," kata dia.
Selain faktor genetik, kebiasaan merokok masih menjadi penyebab utama kanker paru, termasuk paparan polusi udara, asap rokok pasif, hingga zat kimia industri.
Belakangan, tren baru seperti vaping atau rokok elektrik juga menimbulkan kekhawatiran. Senior Consultant in Medical Oncology PCC lainnya Dr. Chin Tan Min mengatakan vaping bukanlah alternatif yang aman terhadap rokok konvensional. Vape tetap mengandung nikotin dan bahan kimia toksik yang dapat merusak paru dan menyebabkan kecanduan.
“Meski belum terbukti langsung menyebabkan kanker paru, risikonya terhadap kesehatan paru tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Dr. Chin menyarankan agar masyarakat yang ingin berhenti merokok atau vaping melakukannya dengan bimbingan medis. Program berhenti merokok yang terstruktur dan gaya hidup sehat terbukti lebih efektif dalam menurunkan risiko kanker paru.
Selama bertahun-tahun, kemoterapi menjadi pengobatan utama bagi pasien kanker paru. Namun efektivitasnya terbatas dan efek sampingnya sering kali berat.
Kini, pendekatan baru seperti targeted therapy dan immunotherapy dinilai telah mengubah paradigma pengobatan. Menurut Dr. Lim, penemuan mutasi genetik pada sel kanker paru merupakan titik balik penting dalam terapi modern.
“Penemuan mutasi gen seperti EGFR memungkinkan kami merancang terapi yang lebih tepat sasaran. Dengan targeted therapy, kami dapat menonaktifkan mekanisme gen yang memicu pertumbuhan kanker tanpa merusak jaringan sehat,” jelasnya.
Pasien kanker paru stadium lanjut yang menjalani kombinasi kemoterapi dan terapi bertarget kini memiliki tingkat kelangsungan hidup rata-rata 2,5 hingga 3 tahun, lebih dari dua kali lipat dibandingkan kemoterapi konvensional.
Inovasi Paling Efektif
Sementara itu, Dr. Chin menjelaskan bahwa terapi EGFR Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) telah menjadi salah satu inovasi paling efektif bagi pasien kanker paru stadium lanjut.
Respons terhadap terapi ini disebut sangat baik. Sekitar 80 persen pasien mengalami perbaikan gejala dalam dua hingga empat minggu pertama, seperti berkurangnya batuk, sesak napas, dan juga nyeri.
“Dengan terapi EGFR TKI, kami kini melihat peningkatan kelangsungan hidup rata-rata hingga 3-4 tahun bagi pasien dengan mutasi EGFR,” jelasnya.
Selain terapi bertarget, imunoterapi menjadi pendekatan baru yang memanfaatkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan sel kanker. Metode ini mendorong sistem imun agar mampu mengenali dan menghancurkan sel kanker secara alami. "Efeknya bisa bertahan lama seperti vaksinasi terhadap kanker," kata Dr. Lim
Dalam beberapa kasus, immunotherapy dapat memberikan kontrol jangka panjang dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup hingga lima tahun bagi sebagian pasien.
Studi menunjukkan bahwa pasien kanker paru stadium lanjut yang menjalani immunotherapy memiliki tingkat kelangsungan hidup lima tahun sebesar 23 persen, dibandingkan kurang dari 5 persen pada terapi konvensional.
Dr. Lim menjelaskan setiap pasien memiliki karakteristik unik baik secara biologis maupun emosional sehingga terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
Tim multidisiplin di PCC melibatkan ahli onkologi, ahli bedah toraks, radiolog, ahli gizi, dan konselor psikologis untuk memastikan penanganan menyeluruh, dari diagnosis hingga pemulihan.
“Pendekatan kami selalu berpusat pada pasien. Kami tidak hanya berfokus pada pengobatan medis, tetapi juga memastikan setiap pasien mendapatkan dukungan emosional dan gaya hidup sehat yang berkelanjutan,” tutur Dr. Lim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara

















































