Kisah Imam Syafi‘i dan Murid yang tak Kunjung Paham Pelajaran

6 hours ago 2

Oleh : Ahmad Jamil, Ph.D, Pimpinan Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah al-Kubrā karya Imam Tāj ad-Dīn as-Subkī disebutkan bahwa di antara murid kesayangan Imam Syafi‘i adalah Rabi‘ bin Sulaimān al-Murādī (w. 270 H).

Dialah perawi utama kitab al-Umm dan ar-Risālah, dua karya monumental yang menjadi pondasi madzhab Syafi‘i.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Namun di awal perjalanannya, Rabi‘ bukan murid yang cepat paham.

Setiap kali Imam Syafi‘i menjelaskan kaidah fiqih atau prinsip ushul, ia menunduk, mencatat, lalu berkata lirih:

“Belum paham, Guru.”

Begitu terus, berulang-ulang. Namun Imam Syafi‘i tidak pernah marah. Ia mengulang pelajaran dengan sabar dan kasih sayang, sebab bagi beliau pintu ilmu bukan dibuka oleh otak yang cerdas, melainkan oleh hati yang bersih dan tekun.

Kesabaran, nasehat dan do’a sang guru

Imam Syafi‘i memandang murid-muridnya bukan sekadar penuntut ilmu, melainkan anak ideologis, penerus risalah dan waris peradaban.

Jika anak biologis meneruskan darah, maka murid meneruskan cita-cita.

Mereka bukan hanya perlu diajari, tapi juga dididik dan didoakan.

Imam al-Ghazālī berkata dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn:

“الولد سر أبيه، والتلميذ ثمرة معلمه، فلا فرق بينهما إلا في النسب.”

Anak adalah rahasia ayahnya, dan murid adalah buah dari gurunya—bedanya hanya pada nasab.

Dalam tradisi pesantren, para kiai selalu menekankan, “Ilmu ora mung saka ngajari, nanging uga saka ndongakke.” (Ilmu bukan hanya hasil pengajaran, tapi juga hasil doa.)

Maka guru sejati bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menanamkan ruh doa agar murid-muridnya tumbuh menjadi pohon keberkahan yang berbuah di masa depan.

Dikisahkan, suatu hari Rabi‘ merasa malu karena selalu tidak paham. Ia keluar dari majelis, menunduk dalam sedih. Namun Imam Syafi‘i memanggilnya dan berkata lembut:

“Datanglah ke rumahku nanti malam.”

Malam itu, sang Imam mengajarinya kembali dengan penuh kelembutan. Namun hingga akhir pelajaran, Rabi‘ tetap berkata lirih: “Belum paham, Guru…”

Imam Syafi‘i menatapnya penuh kasih, lalu berkata dengan senyum bijak:

“يا ربيع، هذا ما عندي، فسل الله أن يفتح لك، فإن العلم ليس يُعطى بالتعليم، ولكنه نور يضعه الله في القلب.”

“Wahai Rabi‘, ini batas kemampuanku mengajar. Mintalah kepada Allah agar Dia membukakan bagimu, karena ilmu itu bukan semata hasil pengajaran, melainkan cahaya yang Allah letakkan di hati.”

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|