KTT Iklim COP30 Mendengar Suara Negara yang Menderita Akibat Pemanasan Global

1 hour ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, BELEM -- Para pemimpin dunia berkumpul di tepi Hutan Hujan Amazon yang kian menyusut menjelang pembukaan resmi pada Senin (10/11/2025), dengan banyak di antara mereka menekankan perlunya menyeimbangkan kesenjangan antara negara berkembang dan negara kaya yang menghasilkan sebagian besar emisi berbahaya dunia.

Para pemimpin dari negara-negara yang mengalami dampak paling buruk dari krisis iklim global, mulai dari badai, banjir, dan bencana lainnya, mendesak konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Brasil, COP30, untuk bertindak nyata.

Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, menekankan pentingnya peta jalan konkret untuk menghentikan deforestasi, mengatasi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan. Inisiatif lain bertujuan menciptakan pasar karbon global bersama, di mana negara yang menghasilkan emisi lebih sedikit dari target yang ditetapkan dapat menerima kredit dan menjualnya kepada negara yang melampaui komitmen.

Negara-negara kaya sebelumnya berjanji memberikan 300 miliar dolar AS untuk membantu negara miskin menghadapi dampak luas dari pemanasan global pada KTT tahun lalu. Namun hingga kini, dana tersebut belum disalurkan. Selain itu, negara berkembang dan kelompok advokasi internasional menilai angka tersebut sangat tidak memadai, dengan target ideal mencapai 1,3 triliun dolar AS dalam berbagai bentuk bantuan pemerintah dan swasta.

Dalam pertemuan para pemimpin pada Jumat (8/11/2025), diplomat Haiti, Smith Augustin, mengatakan Badai Melissa menghancurkan negaranya, padahal negara-negara pulau kecil justru menjadi pihak yang paling sedikit bertanggung jawab atas perubahan iklim.

Wakil Presiden Kenya, Kithure Kindiki, menuturkan siklus kekeringan ekstrem yang sebelumnya terjadi sekali dalam seratus tahun kini bergantian dengan banjir dahsyat yang terus merenggut nyawa,”di negara Afrika Timur itu yang baru saja mengalami tanah longsor mematikan pekan lalu.

Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley, mengatakan para pemimpin di KTT harus menundukkan kepala dalam rasa malu karena dana kerugian dan kerusakan yang dibentuk pada konferensi 2022 di Mesir masih memiliki kurang dari 800 juta dolar AS, sementara Jamaika menderita kerugian lebih dari 7 miliar dolar AS, belum lagi Kuba, Haiti, atau Bahama.

Ketua Komisi Uni Afrika, Mahmoud Ali Youssouf, mengatakan para pemimpin dari negara-negara yang paling menderita akibat krisis iklim tidak meminta belas kasihan, melainkan “keadilan iklim.”

Beberapa pemimpin juga mengkritik Amerika Serikat, yang di bawah Presiden Donald Trump sempat menyebut perubahan iklim sebagai “tipuan” dan menolak mengirim utusan ke pembicaraan sambil terus menggali bahan bakar fosil.

Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam laporan terbarunya pekan ini menyebutkan dunia “sangat mungkin” akan melampaui ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius dari target yang disepakati secara internasional dalam Perjanjian Paris, dalam beberapa dekade mendatang.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan kepada para pejabat yang berkumpul di Brasil mereka bisa memilih “untuk memimpin atau dipimpin menuju kehancuran.” “Terpretoo banyak perusahaan meraup keuntungan besar dari kehancuran iklim, dengan miliaran dolar dihabiskan untuk melobi, menipu publik, dan menghalangi kemajuan, sementara terlalu banyak pemimpin tetap terjebak oleh kepentingan yang mengakar,” katanya dilansir laman Aljazirah.

Guterres juga mengatakan melampaui ambang 1,5 derajat Celcius tidak dapat dihindari dalam jangka pendek, “tetapi yang penting adalah seberapa tinggi dan berapa lama.” PBB menegaskan emisi global harus hampir terpangkas setengah pada 2030, mencapai nol bersih pada 2050, dan kemudian bergerak ke arah negatif untuk mengembalikan stabilitas iklim global.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|