Harianjogja.com, JOGJA— Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa sudah mengucurkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Kebijakan itu diharapkan bisa mendongkrak perekonomian nasional.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto menilai kebijakan itu merupakan terobosan untuk merekapitalisasi perbankan negeri, sehingga bisa menyalurkannya untuk industri produktif. Oleh karena itu tidak ada salahnya ketika disambut dengan optimistis.
BACA JUGA: Pusat Tak Jadi Potong Dana Transfer, Hasto: Kami Senang Sekali
Ia berharap kebijakan ini bisa berdampak positif khususnya pada kepercayaan pasar di Indonesia. Menurutnya Purchasing Managers Index (PMI) saat ini di angka 51,5 menandakan industri manufaktur berada di zona ekspansif. Lalu Indeks Kepercayaan Industri (IKI) sebesar 53,55 menunjukkan kepercayaan industri manufaktur di bulan ini relatif baik.
"Mestinya penempatan modal di Himbara bisa untuk mengkapitalisasi industri manufaktur padat karya," ucapnya, Selasa (16/9/2025).
Timotius mendorong agar Good Corporate Governance (GCG) dari perbankan diperbaiki. Serta GCG dari Kementerian dan Lembaga. Sehingga terobosan dari Kemenkeu selanjutnya diikuti lembaga lainnya bisa berjalan beriringan dengan stimulus kebijakan dari pemerintah.
Dia menekankan perlu juga dilakukan deregulasi dan debirokratisasi di Kementerian, kaitannya dengan kemudahan berusaha. Dalam hal ini Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurutnya masalah yang dihadapi dari sisi pengusaha tidak hanya kapital saja. Tapi juga bagaimana agar pemerintah menekan ekonomi berbiaya tinggi. "Diimbangi upaya memberikan iklim kemudahan berusaha, supaya meningkat," jelasnya.
Kebijakan dari Kemenkeu ini dilanjutkan dengan pemberian 17 paket stimulus ekonomi, 8 program akselerasi, 4 program yang dilanjutkan pada program 2026, dan 5 program penyerapan tenaga kerja. Ia menyebut ini menjadi itikad baik dari pemerintah dalam mengatasi persoalan.
Ia juga berharap agar kebijakan dari pemerintah ini tidak bersifat parsial, namun bisa saling terintegrasi. "Lalu catatan lainnya bahwa reformasi struktural ekonomi mestinya juga dilanjutkan pak Menteri Keuangan," lanjutnya.
Sebelumnya, Ekonom UGM Denni Puspa Purbasari menyampaikan kebijakan Menkeu ini lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Sama halnya dengan mengejar capaian keseimbangan internal. Salah satu caranya adalah dengan menambah likuiditas atau ketersediaan uang tunai di perekonomian.
Namun, ketika likuiditas meningkat dan suku bunga menurun, tidak memungkiri investor bisa saja menilai Indonesia tidak lagi menarik untuk menempatkan modal. "Akibatnya, dana mereka berpotensi dialihkan ke luar negeri. Apabila kondisi ini terjadi, kurs rupiah akan terdepresiasi, yakni melemah terhadap mata uang asing," ucapnya.
Denni menjelaskan, dari sudut pandang ekonomi kebijakan pemerintah sebaiknya ditujukan untuk mencapai keseimbangan baik internal maupun eksternal. Keseimbangan internal artinya tercapainya stabilitas ekonomi makro domestik yang ditandai dengan full employment dan inflasi yang stabil. Sedangkan keseimbangan eksternal ditandai dengan adanya stabilitas antara neraca transaksi berjalan dengan aliran modal internasional.
Kedua tujuan tersebut seringkali bertentangan. Denni mengutarakan ketika negara mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai stabilitas internal, di sisi lain berdampak negatif terhadap stabilitas eksternal pula.
BACA JUGA: Pemadaman Listrik Rabu 17 September 2025: Kalasan hingga Wonosari
"Atau sebaliknya, kebijakan yang ditujukan untuk mengejar stabilitas eksternal, dapat berdampak negatif terhadap stabilitas internal negara itu."
Baginya, membandingkan returns atau keuntungan dalam penanaman modal adalah perilaku rasional. Dalam hal ini modal akan selalu mengalir ke tempat yang paling memberikan returns tertinggi pada tingkat risiko yang sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News