REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Potensi laut sebagai solusi krisis iklim Indonesia belum diterjemahkan menjadi kebijakan yang kuat dan terukur. Laporan terbaru World Resources Institute (WRI) menilai rencana aksi iklim berbasis laut Indonesia masih lemah, kurang ambisius, dan belum menyasar sektor berdampak besar.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki peluang strategis memanfaatkan ekosistem pesisir dan energi laut untuk menekan emisi. Namun WRI menilai peluang itu belum dimaksimalkan dalam dokumen komitmen iklim nasional.
Dalam laporan yang dirilis Senin (29/12/2025), WRI mencatat Indonesia telah memasukkan peran laut dalam target penurunan emisi yang ditetapkan sendiri atau NDC. Meski demikian, pendekatan yang diambil dinilai parsial dan mengabaikan sejumlah potensi utama.
“Tanpa memperbaiki kesenjangan ini, Indonesia dapat kehilangan peluang besar untuk mengatasi perubahan iklim dan kesempatan untuk muncul sebagai pemimpin global di sektor kelautan,” kata WRI.
WRI mengidentifikasi sedikitnya tiga jalur utama aksi iklim berbasis laut yang berpotensi signifikan menurunkan emisi. Jalur tersebut mencakup perlindungan ekosistem karbon biru, dekarbonisasi transportasi laut, dan pengembangan energi terbarukan lepas pantai.
Berdasarkan analisis Climateworks Center, perlindungan ekosistem karbon biru menjadi langkah paling berdampak. Mangrove, padang lamun, dan rawa payau mampu menyimpan karbon hingga lima kali lebih banyak dibanding hutan tropis daratan pada luas area yang sama.
Dengan menghentikan deforestasi mangrove dan memperluas restorasi, Indonesia berpotensi menurunkan emisi 32 hingga 41 juta ton karbon dioksida ekuivalen per tahun pada 2030. Angka ini setara dengan menghentikan emisi dari sekitar 10 juta mobil per tahun.
Jika perlindungan juga mencakup padang lamun, tambahan potensi penurunan emisi diperkirakan mencapai 17 hingga 60 MtCO2e per tahun. Namun hingga kini, kebijakan dan mekanisme implementasinya dinilai belum memadai.
Jalur kedua adalah elektrifikasi transportasi laut dan transisi energi bersih di sektor pelayaran. Posisi Indonesia di jalur perdagangan dunia membuat sektor ini strategis sekaligus berkontribusi besar terhadap emisi dan polusi udara.
Selat Malaka yang melintasi Sumatra utara tercatat sebagai salah satu rute pelayaran tersibuk dengan intensitas emisi tinggi. Dampaknya tidak hanya berskala global, tetapi juga mempengaruhi kualitas udara nasional.
WRI mencatat elektrifikasi dan pemanfaatan energi terbarukan pada transportasi laut domestik berpotensi menurunkan emisi hingga 2,8 MtCO2e per tahun pada 2030. Pembenahan aktivitas pelabuhan dan pelayaran internasional bahkan dapat memangkas tambahan emisi hingga 13,9 MtCO2e.
Jalur ketiga adalah pemanfaatan laut sebagai sumber energi terbarukan. Dengan permintaan energi nasional yang diproyeksikan tumbuh sekitar 5 persen per tahun hingga 2030, pengembangan pembangkit listrik lepas pantai dinilai semakin mendesak.
Energi angin lepas pantai, gelombang, pasang surut, dan panas laut menawarkan sumber energi bersih tanpa konflik lahan seperti yang kerap terjadi di daratan. “Pada tahun 2030, pembangkit listrik dari gelombang, pasang surut, angin lepas pantai, dan panas laut dapat memangkas emisi Indonesia sebesar 0,83 MtCO2e per tahun, dengan potensi yang bahkan lebih besar pada tahun 2050,” kata WRI.
Di luar mitigasi, WRI menekankan laut berperan krusial dalam meningkatkan ketahanan terhadap cuaca ekstrem. Sekitar 1.800 kilometer garis pantai Indonesia dikategorikan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem di sektor kelautan dan pesisir pada 2024 tercatat mencapai Rp81,82 triliun. Ekosistem pesisir seperti mangrove membantu menstabilkan garis pantai, meredam gelombang, dan melindungi masyarakat pesisir dari badai serta banjir rob.
Laut yang sehat juga menjadi penopang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kepulauan. Perlindungan ekosistem pesisir mendukung mata pencaharian, ketahanan pangan, serta membuka peluang ekonomi baru seperti ekowisata.
Berbagai studi menunjukkan kawasan mangrove mampu meningkatkan hasil tangkapan ikan sekaligus memberikan manfaat ekonomi langsung bagi komunitas lokal. Proyek restorasi seperti SECURE di Kalimantan Timur juga dilaporkan meningkatkan pendapatan, mengurangi kemiskinan, dan memperkuat peran perempuan.
Meski demikian, WRI menilai kebijakan aksi iklim berbasis laut Indonesia masih tertinggal dari potensinya. Fokus pemerintah dinilai terlalu sempit pada restorasi mangrove, sementara capaian di lapangan belum sejalan dengan target nasional.
Perlindungan dan pemulihan ekosistem lain seperti padang lamun berjalan lebih lambat. Hambatan utama meliputi belum rampungnya protokol pengukuran karbon, keterbatasan pendanaan, serta tantangan teknis.
Untuk menutup kesenjangan tersebut, WRI merekomendasikan empat langkah perbaikan. Langkah pertama adalah memperjelas regulasi dan perencanaan sektor maritim dalam NDC Kedua yang diperkirakan terbit pada 2027 atau 2028.
WRI menilai pemerintah perlu mendefinisikan secara tegas cakupan sektor maritim, termasuk pengertian karbon biru dan ekosistem terkait. Kejelasan ini dinilai penting agar kontribusi sektor laut terhadap target iklim dapat dihitung secara akurat.
Langkah kedua adalah memperkuat tata kelola dan koordinasi antarlembaga. Proses pemantauan, pelaporan, dan verifikasi emisi harus terintegrasi lintas kementerian dan pemerintah daerah.
“Pemerintah juga perlu memperjelas dan menyelaraskan mandat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, serta pemerintah daerah untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan menyederhanakan pengelolaan ekosistem karbon biru,” kata WRI.
Langkah ketiga adalah penguatan basis data dan metodologi perhitungan emisi. WRI menilai kapasitas teknis nasional dan daerah masih perlu ditingkatkan agar sektor karbon biru, industri maritim, dan energi lepas pantai dapat diintegrasikan ke target iklim secara kredibel.
Langkah terakhir adalah membuka akses pendanaan yang memadai. Pemerintah diminta menyediakan panduan regulasi, standar teknis, dan instrumen keuangan agar inisiatif iklim berbasis laut dapat mengakses pasar karbon dan sumber pendanaan lain.
“Pemerintah juga perlu berinvestasi dalam program peningkatan kapasitas agar para pelaku di tingkat lokal dan nasional mampu memenuhi persyaratan teknis akuntansi dan verifikasi karbon,” kata WRI.

1 hour ago
1
















































