Harianjogja.com, JOGJA—Lonjakan gula darah pagi hari kerap membingungkan penderita pradiabetes dan diabetes tipe 2.
Kadar gula darah yang normal sebelum tidur bisa berubah menjadi tinggi saat bangun pagi, meski tidak ada asupan makanan semalaman. Kondisi ini dikenal sebagai fenomena fajar (dawn phenomenon), yaitu respons alami tubuh yang berlebihan terhadap perubahan hormon pada dini hari.
Seperti dikutip dari The Times of India, Sabtu (13/12/2025) Fisiolog olahraga Jose Tejero, asal Maryland, Amerika Serikat, menjelaskan, fenomena fajar terjadi ketika tubuh memproduksi hormon kortisol dan hormon pertumbuhan antara pukul 03.00 hingga 08.00 pagi. Hormon tersebut memberi sinyal pada hati untuk melepaskan glukosa ke aliran darah sebagai persiapan energi. Pada orang sehat, pankreas merespons dengan memproduksi insulin yang cukup untuk menyeimbangkan kadar gula darah.
Namun, pada penderita resistensi insulin, mekanisme ini tidak berjalan optimal. Sel-sel tubuh tidak merespons insulin dengan baik sehingga hati terus memproduksi glukosa. Akibatnya, gula darah puasa bisa meningkat 20 poin atau lebih, bahkan melampaui 100 mg/dL, meski tanpa makan apa pun.
Resistensi Insulin dan Dampaknya pada Tubuh
Resistensi insulin membuat otot tidak menyerap glukosa secara efisien, sementara hati gagal menerima sinyal untuk menghentikan produksi gula. Kondisi ini bukan disebabkan kegagalan diet atau kurangnya kemauan, melainkan proses fisiologis yang dialami setiap orang dalam skala kecil.
Tejero menegaskan, pada orang tanpa diabetes, tubuh mampu mengompensasi lonjakan hormon tersebut dengan cepat. Sebaliknya, pada penderita pradiabetes dan diabetes tipe 2, kelelahan sel beta pankreas, kebiasaan konsumsi tinggi karbohidrat, kurang aktivitas fisik, stres, serta kurang tidur memperburuk lonjakan gula darah pagi hari.
Fenomena Fajar dan Efek Somogyi
Gula darah tinggi di pagi hari tidak selalu berarti fenomena fajar. Tejero membedakannya dengan efek Somogyi, yaitu lonjakan gula darah sebagai respons terhadap hipoglikemia atau gula darah rendah pada malam hari.
Cara membedakannya dapat dilakukan dengan memeriksa gula darah sekitar pukul 03.00 dini hari. Jika hasilnya tetap tinggi, kemungkinan besar itu fenomena fajar. Jika justru rendah, lonjakan pagi hari bisa disebabkan efek Somogyi. Meski sering tanpa gejala, kondisi ini dapat disertai rasa haus, kelelahan, atau sakit kepala.
Risiko Jangka Panjang Jika Tidak Ditangani
Data Cleveland Clinic menunjukkan fenomena fajar dialami oleh sekitar 50% pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2. Jika berlangsung lama, kondisi ini dapat meningkatkan kadar HbA1c, memperbesar risiko penyakit jantung, gangguan saraf, dan komplikasi metabolik lainnya.
Meski demikian, Tejero menilai fenomena fajar umum terjadi pada fase awal diabetes dan masih dapat dikendalikan dengan perubahan gaya hidup yang konsisten.
Mengendalikan Gula Darah Pagi Hari
Pendekatan yang disarankan berfokus pada pemulihan sensitivitas insulin secara bertahap, bukan metode ekstrem. Pola makan tinggi serat dari sayuran hijau, kacang-kacangan, buah utuh, dan biji-bijian membantu menekan lonjakan glukosa. Sebaliknya, konsumsi lemak jenuh dari daging olahan dan pastry sebaiknya dibatasi karena memicu peradangan.
Makan secara teratur setiap empat jam membantu mencegah produksi glukosa berlebihan oleh hati. Aktivitas fisik juga berperan penting. Jalan cepat selama 40 menit atau bersepeda empat kali seminggu, ditambah latihan kekuatan dua kali seminggu, terbukti meningkatkan penyerapan glukosa oleh otot.
Tejero menyebut, konsistensi selama tiga bulan dapat menurunkan gula darah puasa hingga 20–50 poin. Aktivitas ringan seperti berjalan kaki 10 menit setelah makan malam dan tidur lebih awal juga membantu menekan hormon kortisol.
Jika setelah perubahan gaya hidup gula darah puasa tetap di atas 126 mg/dL, penderita disarankan berkonsultasi dengan dokter untuk mempertimbangkan Continuous Glucose Monitor (CGM) atau terapi obat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : The Times of India
















































