Sejumlah warga menungu di Samsat Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). Sejumlah warga antusias dalam memanfaatkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang digelar oleh Pemprov Jawa Barat. Hal ini terlihat dari melonjaknya warga yang melakukan pembayaran pajak kendaraan di Samsat Cibinong. Wargapun dihimbau untuk tidak terlalu tergesa-gesa dan bersabar karena program pemutihan tersebut masih bisa dimanfaatkan masyarakat selama dua bulan ke depan hingga 30 Juni 2025.

Oleh : Shofiyullah Muzammil, Anggota Komisi Fatwa MUI dan Guru Besar Filsafat Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
REPUBLIKA.CO.ID,
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke XI yang berlangsung pada tanggal 20-23 November 2025 sukses menghebohkan meja perdebatan di Jakarta, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran DPR. Pungutan pajak itu hukumnya haram, kecuali negara berada dalam keadaan darurat.
Pernyataan ini bukanlah ajakan untuk anarki dengan memboikot pajak. Ini adalah upaya meluruskan persepsi, menempatkan kewajiban negara dan warga negara pada timbangan moral dan keadilan, sekaligus mendesak perbaikan radikal dalam sistem fiskal kita.
Pajak yang selama ini kita kenal sebagai tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tiba-tiba diletakkan di “kursi pesakitan” etika keagamaan. Lalu, apa sebenarnya gagasan besar di balik narasi ini? Bagaimana kita bisa mengubahnya menjadi cetak biru kebijakan fiskal yang lebih berkeadilan?
Gagasan 1: Zakat vs Pajak – Mengurai Konflik Fikih dan Fiskal Modern
Inti dari fatwa MUI adalah membandingkan pajak modern dengan satu-satunya kewajiban finansial yang diwajibkan secara eksplisit dalam syariat Islam, yaitu zakat.
Dalam fikih klasik, zakat adalah sebuah sistem yang sempurna. Ia memiliki aturan main yang jelas: 1) Nishab (Batas Minimal): Harta hanya diwajibkan zakat jika telah mencapai batas minimum tertentu; 2) Haul (Jangka Waktu): Biasanya dihitung setelah satu tahun; dan 3) Asnaf (Penerima Tetap): Distribusi hasilnya sudah pasti dan terbatas pada delapan golongan penerima.
Sebaliknya, pungutan pajak yang kita kenal hari ini—Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)—tidak dikenal dalam zaman kenabian dan para sahabat, kecuali dalam situasi tertentu atau terhadap non-Muslim (jizyah dan kharaj). Hadits Nabi Muhammad SAW menyatakan “Laisa fil maal haqq siwa az-zakat” (HR Ibnu Majah), yang secara harfiah berarti: “Tidak ada kewajiban atas harta kekayaan selain zakat.”
Dalam situasi normal, pungutan finansial di luar zakat dianggap memberatkan rakyat (makas atau dharibah), yang dapat disamakan dengan perampasan.
Oleh karena itu, dalam konteks hukum Islam murni, pajak dalam situasi normal adalah haram. Zakat sudah cukup menopang masyarakat, karena peruntukan delapan asnaf itu pada hakikatnya adalah sasaran distribusi kesejahteraan, serupa dengan sasaran distribusi pajak.

1 hour ago
1
















































