Perjuangan Santri Disebut tak Boleh Berhenti pada Ranah Domestik

12 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjuangan santri tidak hanya berkutat pada spiritualitas, tetapi juga pada semangat kebangsaan. Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU, KH M. Hilmi Assiddiqi Al-Aroky, mengatakan santri adalah identitas yang lahir dan tumbuh dari rahim Nusantara. Arah perjuangan santri inilah yang bersenyawa dengan tema Hari Santri Nasional 2025, 'Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.'

"Tema tersebut menegaskan bahwa perjuangan santri tak boleh berhenti di ranah domestik, tetapi harus memberi dampak global," ujar Kiai Hilmi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurutnya, 'Mengawal Indonesia Merdeka' merupakan bentuk tertinggi penegakan hukum Allah di bumi Nusantara, sebagaimana ditunjukkan oleh Resolusi Jihad yang menegaskan bahwa hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Ia menilai bahwa dalam konteks kekinian, jihad santri adalah jihad kebangsaan—perjuangan sungguh-sungguh untuk mencapai kemaslahatan bangsa dengan semangat nasionalisme dan ajaran agama.

“Ini bukan perjuangan dengan mengangkat senjata, tetapi berjuang melawan persoalan bangsa di era modern. Jihad kebangsaan berarti ikut membangun bangsa sesuai kemampuan yang dimiliki untuk mewujudkan cita-cita luhur berdasarkan ideologi Pancasila,” tuturnya.

Menurutnya, perbedaan mendasar antara jihad kebangsaan dan jihad teroris terletak pada orientasinya. "Jihad ala santri adalah menjaga dan mengisi NKRI dengan kebaikan dan kemaslahatan, sementara jihad radikal ingin mengubah bentuk negara menjadi kekhalifahan atau negara agama," jelasnya.

Selain jihad kebangsaan, KH Hilmi juga menekankan pentingnya jihad intelektual yakni penguasaan ilmu agama dan ilmu umum untuk menjawab tantangan zaman. "Santri tidak hanya fokus pada kitab kuning, tapi juga harus menguasai sains, teknologi, dan ilmu sosial agar mampu berkontribusi positif bagi bangsa," ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya pemanfaatan media sosial secara bijak. Santri, katanya, harus menjadi agen perubahan sosial dan penyebar nilai-nilai damai di ruang digital. “Santri harus mampu membangun narasi damai, positif, dan inklusif untuk meredam konflik yang kerap dipicu berita palsu atau provokasi di media sosial," katanya.

KH Hilmi yang juga Wakil Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok itu menegaskan bahwa nilai-nilai pesantren seperti tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) harus menjadi fondasi dalam menjaga keutuhan NKRI.

“Nilai-nilai itu harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya menciptakan generasi dengan kematangan spiritual dan sosial. Inilah wujud nyata pengamalan Pancasila,” katanya.

Ia menambahkan, di era digital ini santri harus menjadi penjaga nilai luhur sekaligus pembangun peradaban yang damai dan beradab. Tantangan terbesar justru datang dari derasnya arus informasi dan narasi radikal yang membanjiri media sosial.

Di akhir pesannya, KH Hilmi mengingatkan para santri agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi radikal. “Giatlah belajar dengan guru dan lembaga yang moderat serta berjiwa nasionalis. Dengan begitu, santri akan menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kedamaian Indonesia,” pesannya.

Ia juga berharap santri mampu berprestasi di kancah global sesuai tema Hari Santri 2025. "Santri Indonesia harus mampu memberi kontribusi nyata bagi ukhuwah basyariah—persaudaraan antar-manusia—sebagai wujud Islam rahmatan lil’alamin," pungkas mantan pengurus PCNU Sudan ini.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|