Sstt! RI Tengah Susun Perhitungan Garis Kemiskinan Baru

1 day ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia kini tengah menyusun perhitungan terbaru garis kemiskinan, mengimbang penyesuaian garis kemiskinan terbaru Bank Dunia atau World Bank yang tertuang dalam dokumen bertajuk "June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP)".

Hal ini diungkapkan oleh Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf. Menurutnya, pembaruan metode penghitungan garis kemiskinan ini nantinya akan mencerminkan realita kondisi kemiskinan di Indonesia secara lebih tepat.

"Saat ini BPS dan kementerian terkait sedang dalam proses menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. Harapannya, dalam waktu dekat kita akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas," kata Arief, kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/6/2025).

Sebagaimana diketahui, dalam dokumen itu pembaruan Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025, Bank Dunia merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan setelah mengadopsi 2021 PPP, yang telah dipublikasikan Bank Dunia dalam The International Comparison Program (ICP) edisi Mei 2025.

Untuk garis kemiskinan internasional atau yang biasanya menjadi ukuran tingkat kemiskinan ekstrem dari semula US$ 2,15 2017 PPP menjadi US$ 3.00 2021 PPP.

Lalu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,20. Sementara itu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, seperti Indonesia di dalamnya, dari semula sebesar US$ 6,85 2017 PPP menjadi US$ 8,30 2021 PPP.

Dengan ukuran garis kemiskinan ekstrem terbaru itu, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia menurut Bank Dunia naik dari semula 1,26% dari total jumlah penduduk pada 2024 sebanyak 285,1 juta jiwa menjadi 5,44%. Maka jumlahnya setara 15,5 juta orang dari sebelumnya 3,59 juta jiwa.

"Artinya, angka kemiskinan ekstrem Indonesia melonjak dari 1,26% menjadi 5,44%. Dalam jumlah absolut, ini berarti ada sekitar 12 juta orang tambahan yang tergolong miskin ekstrem menurut standar global, meskipun sebelumnya tidak tercatat secara resmi," ucap Arief.

Arief menilai, meningkatnya tingkat kemiskinan Indonesia itu bukan berarti penduduk Indonesia makin miskin, melainkan menjadi pertanda bahwa garis kemiskinan Indonesia yang saat ini sebesar R p595.000 per bulan (Rp 19.833 per hari) hanya sedikit lebih tinggi dari batas kemiskinan ekstrem internasional yang setara Rp 18.213 per hari atau Rp 546.400 per bulan, merujuk pada nilai tukar PPP 2024 sebesar Rp 6.071/US$,

Karena itu, ia menganggap Indonesia memang harus segera mengimbang perubahan standar garis kemiskinan global itu. "Dengan jarak kurang dari Rp50.000 per bulan, ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia," tegasnya.

Arief menjelaskan, setidaknya ada lima alasan Indonesia perlu merevisi garis kemiskinannya. Pertama, jarak tingkat kemiskinan Indonesia saat ini sangat dekat dengan garis kemiskinan ekstrem global, yang justru dipakai oleh negara-negara berpendapatan paling rendah, padahal Indonesia telah masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas sejak 2023.

Kedua, standar hidup sudah berubah drastis sejak 1998, yakni tahun terakhir metode penghitungan garis kemiskinan di Indonesia direvisi. Ketiga, negara-negara setara sudah lebih maju melakukan penyesuaian garis kemiskinannya, seperti Malaysia (revisi 2018) dan Vietnam (2021).

Alasan keempat, kebijakan berbasis data yang kurang mencerminkan realitas sosial bisa menyebabkan salah arah dalam penanganan kemiskinan. Kelima, legitimasi publik terhadap statistik kemiskinan bisa menurun jika tak mencerminkan kenyataan hidup masyarakat.

"Jadi, menaikkan garis kemiskinan adalah praktik yang umum dan wajar dilakukan oleh negara yang berkembang. Lalu, indikator yang terlalu rendah bisa membuat kita terlena, mengira kemiskinan sudah terkendali," tegas Arief.

"Apalagi, benchmarking antar negara penting agar kita tidak hanya puas dengan kemajuan relatif terhadap masa lalu, tetapi juga sadar posisi kita di antara bangsa-bangsa lain. Dan terakhir, revisi garis kemiskinan adalah bentuk kejujuran nasional, bukan kelemahan," ungkapnya.

Arief mengakui, dalam merevisi garis kemiskinan di Indonesia saat ini memang terjadi sejumlah hambatan, mulai dari efek kekhawatiran terhadap politisasi lonjakan angka kemiskinan, hingga anggapan bahwa anggaran perlindungan sosial akan meningkat tajam.

"Tapi dua hal ini dapat diatasi dengan edukasi publik yang baik dan pemisahan antara indikator statistik dan basis sasaran program sosial," papar Arief.

Arief pun menyebutkan bahwa dalam proses revisi garis kemiskinan ini, pemerintah akan mulai dengan mengadopsi standar negara berpendapatan menengah bawah (LMIC) dari Bank Dunia, yakni US$ 4,20 PPP per orang per hari, atau sekitar Rp 765.000 per bulan.

Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini (Rp 595.000), namun masih jauh lebih rendah dari standar negara menengah atas (UMIC) sebesar Rp 1,5 juta.

"Dengan menjadikan Rp 765.000 sebagai garis kemiskinan nasional baru, maka kita tetap realistis dan bertahap, angka kemiskinan akan naik ke sekitar 20%, tapi ini akan lebih mencerminkan kondisi sebenarnya di masyarakat dan membuka ruang kebijakan yang lebih akurat," kata Arief.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Bak Langit & Bumi Beda Kemiskinan RI Versi BPS & Bank Dunia

Next Article Kategori Orang Miskin RI Terbaru: Pengeluaran di Bawah Rp595.242/Bulan

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|