Survei LSI: 74,6 Persen Warga tak Percaya Isu Ijazah Palsu Jokowi

1 day ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei nasional terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan bahwa sebanyak 74,6 persen publik menyatakan tidak percaya terhadap isu ijazah palsu yang dituduhkan kepada Presiden Joko Widodo. Hanya 12,2 persen yang percaya dengan narasi tersebut, sementara sisanya memilih tidak menjawab atau tidak tahu.

Direktur SIGI-LSI Denny JA, Ardian Sopa, menyampaikan bahwa narasi yang beredar luas melalui media sosial, talkshow, hingga podcast ternyata tidak cukup kuat untuk menggoyahkan persepsi mayoritas publik. “Secara umum, masyarakat lebih percaya pada rekam jejak dan proses hukum yang telah dilalui Presiden Jokowi selama lebih dari satu dekade menjabat,” ungkap Ardian.

Survei dilakukan pada 28 Mei–12 Juni 2025, melibatkan 1.200 responden di seluruh provinsi Indonesia dengan metode wawancara tatap muka dan margin of error ±2,9 persen.

Ardian menyebut temuan menarik lainnya adalah bahwa ketidakpercayaan terhadap isu ijazah palsu ini merata di berbagai segmen demografi. LSI menemukan mulai dari warga berpendidikan rendah hingga kalangan terpelajar, dari desa maupun kota, serta lintas generasi dan afiliasi politik.

Bahkan pada kelompok berpendidikan rendah (tamat SD ke bawah), ketidakpercayaan terhadap isu ini mencapai 81,5 persen, sementara di kalangan ekonomi mapan mencapai 67,6 persen.

Dari segi afiliasi politik, konstituen partai-partai besar seperti Gerindra, Golkar, PDIP, dan PKB menunjukkan tingkat ketidakpercayaan lebih dari 80 persen terhadap isu tersebut. Bahkan, di kalangan pemilih Anies Baswedan, yang memiliki keraguan tertinggi sebanyak 51,7 persen, tetap tidak percaya pada isu ini.

Meski mayoritas publik menolak isu ini, LSI menemukan bahwa 22,6 persen responden mengaku kepercayaannya terhadap Jokowi sedikit banyak terpengaruh. “Ini menunjukkan bahwa isu ini tetap punya daya rusak psikologis meskipun secara faktual lemah. Ada dampak simbolik, terutama di kalangan kelas menengah dan terpelajar,” ujar Ardian.

Segmen yang paling terpengaruh mencakup warga berpendidikan tinggi (D3 ke atas) sebesar 35,1 persen, serta kelompok usia Gen Z dan pengguna media sosial X (dulu Twitter) dengan tingkat pengaruh lebih tinggi dibanding platform lain.

LSI mencatat tiga alasan utama mengapa isu ini tak berpengaruh signifikan, pertama kuatnya rekam jejak Jokowi, dari wali kota hingga dua periode presiden, yang membuat publik percaya bahwa proses administratif seperti verifikasi ijazah sudah dilalui secara legal.

Kedua, klarifikasi resmi dari institusi kredibel, seperti UGM, Bareskrim Polri, dan KPU yang menyatakan ijazah Jokowi sah. Sementara ketiga, kesadaran publik bahwa isu ini bermuatan politik, terutama pasca kemenangan Gibran sebagai wapres. "Sebanyak 64,2 persen responden menilai isu ini hanyalah manuver politik untuk delegitimasi."

Ardian menekankan bahwa dalam konteks komunikasi politik, isu ini gagal membentuk konsensus nasional. “Mayoritas publik sudah memilah antara opini politik dengan fakta hukum. Jadi dalam jangka panjang, isu ini tidak mencederai legitimasi Jokowi sebagai figur politik nasional,” jelasnya.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kelompok minoritas yang terpengaruh tetap perlu diperhatikan, karena bisa menjadi alat mobilisasi opini dalam kontestasi politik ke depan.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|