Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah mahalnya harga perangkat teknologi dan ketidakpastian ekonomi global, semakin banyak orang memilih mempertahankan ponsel dan perangkat elektronik lama mereka.
Heather Mitchell, 69 tahun, warga Tucson, Arizona, menjadi salah satu contohnya. Meski Samsung Galaxy A71 miliknya sudah berusia enam tahun, ia tetap enggan mengganti. Ia merasa ponsel baru merupakan barang mewah.
"Samsung Galaxy A71 saya sudah berusia enam tahun. Masih bekerja cukup baik untuk ukuran barang tua. Saya pernah mengalami masalah dengan ponsel ini, dan masih ada, tapi sifatnya minor," kata Mitchell, dikutip dari CNBC Internasional, Senin (24/11/2025).
"Saya suka ponsel Samsung, tetapi tidak mampu membeli yang baru saat ini. Ponsel baru akan menjadi barang mewah," imbuhnya.
Ini tidak terjadi pada Mitchell saja, survei Reviews.org melaporkan bahwa rata-rata orang Amerika kini menggunakan smartphone selama 29 bulan sebelum mengganti, lebih lama dibandingkan rata-rata 22 bulan pada 2016.
Menunda pembaruan perangkat memang bisa menghemat uang pada tingkat individu. Namun riset Federal Reserve menunjukkan dampak yang jauh lebih besar di level korporasi. Setiap satu tahun perusahaan menunda pembaruan perangkat kerja, produktivitas turun sekitar sepertiga persen. Bahkan pola investasi perusahaan disebut menyumbang 55% kesenjangan produktivitas antara negara-negara ekonomi maju.
Jika negara-negara besar Eropa menyamai pola investasi AS sejak tahun 2000, kesenjangan produktivitas mereka dapat berkurang hingga 101% untuk Jerman, 35% untuk Prancis, dan 29% untuk Inggris.
"Pikirkan bagaimana kecepatan internet berubah dalam satu dekade terakhir. Pada 2010-an, kecepatan 100MB dianggap sudah sangat cepat. Sepuluh tahun kemudian, kita beroperasi pada kecepatan 1GB, sekitar 10 kali lebih cepat," kata Cassandra Cummings, CEO Thomas Instrumentation.
Menurutnya, perangkat lama justru membebani jaringan karena operator harus menjaga kompatibilitas dengan perangkat lawas, yang membuat sebagian jaringan berjalan lebih lambat.
"Perangkat tersebut dirancang pada masa ketika tidak ada yang membayangkan kecepatan jauh lebih tinggi akan menjadi arus utama," ujar Cummings.
Namun ia tak menampik bahwa mengikuti pembaruan perangkat baru itu mahal.
"Banyak perusahaan, terutama bisnis kecil, dan individu tidak mampu terus-menerus meningkatkan perangkat ke model terbaru," katanya.
Di sisi lain, usia perangkat yang lebih panjang justru menghidupkan ekonomi pasar perbaikan dan rekondisi. "Sebenarnya ini peluang besar. Tapi pasar perangkat rekondisi masih kurang diatur dan kurang dimanfaatkan," ujar Steven Athwal, CEO The Big Phone Store.
Athwal menilai dukungan pemerintah dan perusahaan teknologi besar-seperti memperpanjang dukungan software dan memperluas akses komponen-bisa menciptakan ekonomi sirkular yang sehat dan mengurangi budaya buang-ganti perangkat.
Ogah ganti HP
Meski produsen terus mendorong pembaruan, termasuk lewat peluncuran sukses iPhone 17 dan fitur berbasis AI, keinginan masyarakat untuk terus menahan perangkat lama makin menguat. Faktor harga, keberlanjutan, dan efisiensi jadi pertimbangan utama.
"Mempertahankan perangkat lama tampaknya lebih hemat, tapi ada biaya tersembunyi yakni perlambatan produktivitas dan hilangnya inovasi," kata Najiba Benabess, dekan bisnis di Neumann University.
Dunia kerja pun ikut terdampak. Survei perusahaan teknologi Diversified menunjukkan 24% karyawan bekerja lembur akibat perangkat yang lambat, dan 88% merasa teknologi kerja yang tidak memadai menghambat inovasi.
"Teknologi berubah terlalu cepat. Banyak perusahaan besar tidak bisa mengimbangi. Akibatnya, perangkat kerja makin usang," kata Jason Kornweiss, Senior VP di Diversified. Ia menambahkan bahwa banyak pekerja enggan mengganti perangkat karena malas belajar lagi, meski perangkat baru bisa meningkatkan efisiensi.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]


















































