2022 Ramai Pengusaha Nikel Tiba-Tiba Jadi Sultan, Tapi Kini..

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa tahun 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel. Pasalnya, pada periode tersebut nikel memiliki harga yang relatif stabil dan trennya cenderung tinggi.

"Ada yang pernah hitung gak harga ini dari tahun 2020 sampai 2025? Di tahun 2022 sempat jadi Sultan kan? Karena harganya fantastis. Pasti ada beberapa yang jadi Sultan. Lumayan dong dan itu berpengaruh pada penerimaan royalti," kata Meidy dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, di Jakarta, Senin (17/3/2025).

Namun demikian, sejak 2023 hingga 2024 harga nikel terus mengalami penurunan. Hal tersebut tidak terlepas dari produksi nikel domestik yang membanjiri pasar internasional.

Menurut dia, sejak 2022 pihaknya telah mengingatkan tentang kapasitas produksi nikel yang berlebih. Namun, alih-alih melakukan pembatasan, pemerintah justru memberikan persetujuan terhadap smelter baru.

"Luar biasa loh smelter ini. Gila beneran. Nambah terus-nambah terus. Padahal tahun 2022 APNI sudah berteriak. Pak moratorium pak. Tapi masih aja sampai sekarang," katanya.

Meidy membeberkan bahwa Indonesia telah menjadi produsen nikel terbesar di dunia dengan produksi bijih yang mencapai 300 juta ton setahun. Adapun jika ditambah dengan proyek smelter yang masih dalam tahap konstruksi, angka ini bisa mencapai 500 juta ton.

"Ditambah dengan yang masih baru-baru tuh yang dikonstruksi. Totalnya 390 tambah 119. Hampir 500 juta ton bijih nikel. Nah lo beli di mana tuh? Nah ini yang saya tampilkan hanya 95 yang produksi yang konstruksi. Data APNI khusus pengolahan nikel itu 147," katanya.

Dengan tren menurunnya harga nikel di pasar global saat ini, pihaknya pun merasa keberatan dengan rencana pemerintah menaikkan tarif royalti nikel.

Meidy mengatakan, apabila tarif royalti bijih nikel naik menjadi 14%-19%, Indonesia akan menjadi negara dengan tarif royalti tertinggi dibandingkan dengan negara penghasil nikel lainnya.

"Kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel kita yang tertinggi yang 10% sebelum tambah yang 14-19%," ungkapnya.

Menurut dia, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga tarif royalti nikel lebih rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan royalti berbasis keuntungan.

"Di beberapa negara, Amerika, Amerika Asia, dan Eropa, dan negara-negara tetangga kita, royalti itu lebih rendah. Di Indonesia. Itu kalau royalti 10%. Kalau ditambah lagi 14-19% waduh. Kita benar-benar negara kaya ya," ujarnya.

Meidy menilai, kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri yang saat ini sudah menghadapi berbagai macam kebijakan lainnya. Misalnya seperti naiknya harga B40, aturan DHE ekspor, dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

"Banyak yang bilang tambang gak berpengaruh (kenaikan PPN menjadi 12%), kata siapa? Tambang berpengaruh kenapa? Karena harga sewa alat berat kita kan masuk barang mewah. Harga sewa alat berat, sudah naik. Harga beli alat berat, sudah naik. Tentu kan berpengaruh," katanya.


(wia)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Menakar Masa Depan Sektor Mineral di Indonesia

Next Article Cegah Harga Ambruk, Siap-Siap Produksi Nikel RI di 2025 Akan Dipangkas

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|