Ilustrasi mengaji keislaman seputar tawakkal.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulama dari kalangan Tarekat Syadziliyah, Ibnu Athaillah as-Sakandari, memiliki ungkapan unik tentang tawakkal.
Menurut Ibnu Athaillah, tawakkal merupakan suatu keadaan yang agung dan mencakup aspek lahir dan batin. Seseorang yang bertawakkal harus taat kepada Allah SWT dalam amal lahirnya dan tidak menentang-Nya dalam hatinya.
Murid Abul Abbas al-Mursi ini menekankan pentingnya keseimbangan antara usaha dan tawakkal, di mana seseorang harus melakukan ikhtiar secara maksimal sambil mempercayakan hasilnya kepada Allah SWT.
Dalam pandangan beliau, tawakkal bukan berarti meninggalkan usaha, melainkan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT setelah melakukan usaha maksimal.
Dengan demikian, seseorang dapat merasakan ketenangan jiwa dan meningkatkan keimanan serta kepercayaan diri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup
Sufi besar dari Mesir ini menyampaikan banyak hikmah mendalam tentang tawakal dalam kitabnya, Al-Hikam. Kutipan-kutipannya tidak hanya berisi definisi, tetapi juga petunjuk praktis untuk mengamalkan tawakal dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah beberapa kutipan menarik Ibnu Athaillah tentang tawakal:
Ketenangan hati
"Tawakal itu adalah ketenangan hati kepada Allah."
Tawakal bukan sekadar tindakan lahiriah, tetapi merupakan keadaan batin yang tenang dan yakin kepada pengaturan Allah. Hati yang bertawakal akan terbebas dari kecemasan dan kegelisahan tentang masa depan.
Usaha tidak bertentangan
"Barangsiapa menolak usaha atau kerja, berarti mengingkari sunah (Nabi). Dan barangsiapa menolak tawakal, berarti mengingkari iman."
Tawakal tidak berarti pasrah tanpa usaha. Keduanya harus seimbang. Usaha adalah perintah syariat, sementara tawakal adalah perintah iman. Hati tetap bertawakal kepada Allah, sedangkan anggota tubuh tetap berikhtiar.