Kebijakan Mulia, Realitas Tak Sederhana

1 hour ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tindakan manusia, niat sering kali ditempatkan sebagai pijakan moral. Kita diajarkan sejak kecil bahwa niat baik akan mengantarkan pada kebaikan. Pemerintah, lembaga, hingga individu, kerap menegaskan bahwa apa pun langkah yang diambil selalu berangkat dari niat baik. Namun, apakah niat baik selalu menghasilkan kebaikan? Apakah setiap kebijakan yang lahir dari semangat mulia otomatis membawa maslahat? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita menengok sejumlah fenomena di dunia pendidikan.

Pendidikan: Antara Akses Luas dan Persaingan Tidak Seimbang

Mari kita lihat apa yang terjadi di Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTKIN). Tahun ini, penerimaan mahasiswa baru di PTKIN mencatat jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini tidak lepas dari kebijakan membuka jalur masuk yang lebih beragam dan inklusif. Niatnya jelas: memperluas akses agar lebih banyak anak bangsa merasakan pendidikan tinggi.

Pemerintah pun terus membangun kampus-kampus baru. Misalnya di Serang, Banten, sebuah PTKIN hadir dengan antusiasme masyarakat yang begitu besar. Mereka yang sebelumnya sulit menjangkau pendidikan tinggi kini memiliki alternatif yang lebih dekat dan terjangkau. Dari sudut pandang aksesibilitas, ini adalah kabar gembira.

Namun, di balik kabar baik itu, ada sisi lain yang jarang disorot. Kehadiran kampus baru dengan segala fasilitasnya membuat kampus kecil yang lebih dulu berdiri harus menghadapi tantangan berat. Perguruan tinggi swasta dengan sumber daya terbatas, yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat kelas bawah, mulai ditinggalkan.

Mahasiswa lebih memilih kampus baru yang lebih representatif, megah, dan bergengsi. Alhasil, kampus-kampus kecil ini menjerit karena jumlah mahasiswanya menurun drastis.

Fenomena serupa saya temui ketika berkunjung ke Blora. Sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berencana membuka kelas di kota kecil tersebut. Lagi-lagi niatnya baik: mendekatkan pendidikan tinggi kepada masyarakat daerah. Namun, niat mulia ini justru memantik protes dari perguruan tinggi swasta lokal. Mereka khawatir, bahkan cenderung yakin, kehadiran PTN itu akan menggerus eksistensi mereka. Ekosistem pendidikan yang sudah bertahan dengan penuh perjuangan terancam runtuh oleh kehadiran pemain besar.

Niat Baik Para Pengusaha Pendidikan

Tidak hanya pemerintah, kalangan swasta pun sering berangkat dari niat baik. Kita menyaksikan beberapa pengusaha sukses mendirikan kampus swasta dengan biaya murah, bahkan gedung yang mewah. Tujuannya jelas: memberikan kesempatan kepada masyarakat kelas bawah untuk bisa meraih gelar sarjana.

Namun, apakah semua itu benar-benar menghadirkan kebaikan yang menyeluruh? Di satu sisi, tentu ada kebaikan: mahasiswa mendapat fasilitas yang lebih layak dengan biaya lebih ringan. Tapi di sisi lain, kampus-kampus swasta kecil yang dulu bertahan dengan penuh pengorbanan, tersisih. Mereka yang berdiri atas dasar idealisme, kini terhimpit oleh persaingan yang tidak seimbang.

Kaca Mata Islam: Maslahat dan Mudarat

Islam memandang bahwa niat memang menjadi inti dari setiap amal. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya niat. Namun, niat yang baik saja tidak cukup. Ia harus dibarengi dengan perhitungan maslahat dan mudarat agar hasilnya benar-benar mendatangkan kebaikan.

Al-Qur’an memberikan perspektif yang lebih luas: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan sejati tidak selalu tampak di permukaan. Manusia bisa mengira sebuah kebijakan atau tindakan baik, padahal dampak jangka panjangnya merugikan.

Di sinilah pentingnya prinsip maslahat. Dalam kaidah fikih, terdapat ungkapan dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih — mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat. Artinya, dalam membuat kebijakan atau mengambil keputusan, yang harus dipertimbangkan bukan hanya niat baik, tetapi juga kemungkinan mudarat yang ditimbulkan.

Jalan Tengah: Bijak dalam Berbuat Baik

Maka, bagaimana sebaiknya? Pemerintah tentu tidak bisa berhenti membangun kampus baru atau membuka akses pendidikan hanya karena ada dampak negatif. Begitu pula pengusaha tidak mungkin menahan diri untuk berbuat kebaikan hanya karena ada risiko kompetisi. Namun, yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa setiap langkah niat baik itu berjalan dengan perencanaan matang, sinergi, dan keberpihakan yang adil.

Dalam konteks pendidikan, misalnya, pembangunan kampus baru seharusnya dibarengi dengan strategi penguatan kampus kecil yang sudah ada. Dukungan dana, kolaborasi kurikulum, atau pembagian segmen mahasiswa bisa menjadi solusi agar ekosistem pendidikan lebih sehat.

Penutup: Hikmah dari Niat

Niat baik adalah fondasi, tetapi ia harus dilanjutkan dengan kebijakan yang adil, langkah yang bijak, dan pertimbangan maslahat yang luas. Jika tidak, niat baik justru bisa berbalik menjadi bumerang.

Kita perlu terus mengingat pesan Rasulullah SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad). Artinya, kebaikan bukan hanya diukur dari niat, tetapi juga dari seberapa besar manfaat yang dihadirkan, dan seberapa sedikit mudarat yang ditimbulkan.

Niat baik harus dipandu oleh ilmu, hikmah, dan pertimbangan maslahat. Hanya dengan itu, ia akan benar-benar menjadi jalan kebaikan yang hakiki dan setiap kebijakan, sebaik apa pun niat dan tujuannya, tak akan pernah mampu memuaskan semua pihak.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|