Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia optimis harga Dimethyl Ether (DME) dari proyek hilirisasi batu bara dalam negeri bisa lebih murah dibandingkan dengan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Kelak, harga DME yang dihasilkan melalui proyek hilirisasi batu bara dalam negeri akan lebih murah hingga 10% dibandingkan dengan harga LPG dari Saudi Aramco.
"DME-nya 10% lebih murah daripada Saudi Aramco. Kalorinya kalori rendah. Ya kita bikin ekonomis. Semuanya harus dapat bagian. Pengusaha tambangnya dapat profit. Negara bisa melakukan penyesuaian pengurangan subsidi," kata Bahlil di acara 2025 Energy & Mineral Forum, di Kempinski Jakarta, dikutip Selasa (27/5/2025).
Hal itu, lanjut Bahlil, juga mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang menyuplai kebutuhan batu bara dunia hingga 50%.
"Indonesia itu menyuplai kurang lebih sekitar 600-650 juta ton. Jadi kita itu hampir 50% supply batu bara ke dunia terhadap batubara yang beredar itu dari Indonesia. Nah saya bilang begini aja. Kita bikin DME," jelasnya.
Dengan begitu, dia menegaskan melalui rencana program hilirisasi batu bara menjadi DME dinilai bisa turut mendorong tercapainya kedaulatan energi dalam negeri.
Kendala Proyek DME RI
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membeberkan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam menggarap proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di dalam negeri yang belum kunjung terealisasi.
Direktur Utama PTBA Arsal Ismail mengungkapkan terdapat berbagai tantangan yang dihadapi oleh perusahaan untuk menggarap proyek tersebut. Salah satunya adalah kendala terkait nilai keekonomian produk yang akan dihasilkan.
Arsal menyebutkan, estimasi harga DME yang akan dihasilkan oleh pihaknya lebih tinggi dibandingkan asumsi keekonomian pemerintah. Dia memperhitungkan, harga DME yang dihasilkan di dalam negeri mencapai US$ 911- 987 per ton yang mana lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar US$ 617 per ton.
"Nah, kami tentunya menyadari bahwa proyek DME ini masih menghadapi sejumlah tantangan utama. Pertama adalah tantangan keekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksi masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor," jelas Arsal dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Adapun, kesenjangan harga keekonomian tersebut berpotensi untuk memperbesar nilai subsidi yang harus digelontorkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, tantangan lain juga dihadapi dalam menggarap proyek DME dalam negeri termasuk tantangan teknis.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Prabowo Naikkan Impor Minyak & Gas Dari AS, Yakin RI Untung?
Next Article Prabowo Siapkan Proyek 'Pengganti' LPG, Ini Buktinya