Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretaris Dewan Pertimbangan Apindo, Suryadi Sasmita, turut meminta Ditjen Pajak untuk memberikan perlindungan bagi pelaku usaha selama masa transisi implementasi Coretax.
Seperti diketahui, sistem inti administrasi pajak atau Coretax masih kerap mengalami kendala teknis pada masa implementasi awal ini. Salah satu masalah yang menganggu pengusaha a.l. pembuatan faktur.
Suryadi menekankan pentingnya dukungan pembinaan yang berkelanjutan dari DJP untuk menjaga keberlangsungan usaha di tengah tantangan teknis yang dihadapi itu.
"Pelaku usaha membutuhkan jaminan bahwa mereka dapat tetap menjalankan aktivitas bisnis tanpa khawatir akan sanksi selama proses transisi yang menjadi ranah di luar kendali para pengusaha," ungkap Suryadi.
Dia berharap DJP terus memberikan dukungan yang bersifat pembinaan, bukan semata penegakan, selama masa transisi ini. Pendekatan yang kooperatif menurutnya akan membantu dunia usaha beradaptasi lebih cepat dengan sistem baru.
"Sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah," ujar Suryadi.
Selain pengusaha, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia atau IKPI juga buka suara soal Coretax. Kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, IKPI meminta mereka memberlakukan masa kahar (force majeure) sistem Coretax.
"Dalam hal ini ada baiknya jika Pemerintah atau DJP juga mengeluarkan ketentuan mengenai masa kahar (force majeure) bagi Wajib Pajak selama aplikasi coretax belum sempurna dan sepenuhnya dapat diterapkan," kata Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (20/1/2025).
Dengan adanya masa kahar tersebut, Pino mengatakan, pihak DJP bisa dengan leluasa membebaskan semua sanksi-sanksi perpajakan akibat keterlambatan pembuatan faktur pajak, pembayaran pajak, dan pelaporan pajak.
"Karena keterlambatan tersebut sepenuhnya disebabkan oleh aplikasi Coretax yang belum bisa dijalankan oleh Wajib Pajak," ungkap Pino.
Apalagi, dalam tahap awal ini, wajib pajak dan konsultan pajak baru menjalankan sebagian dari kewajiban perpajakannya di sistem Coretax, yakni baru sebatas kewajiban terkait pajak pertambahan nilai (PPN), sedangkan kewajiban pajak seperti PPh 21, PPh 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) dan seterusnya belum dilaksanakan.
Terkait kewajiban PPN, DJP menurut Pino sudah memberikan angin segar melalui penerbitan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Petunjuk Teknis Pembuatan Faktur Pajak Dalam Rangka Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No. 131 Tahun 2024.
Salah satu isi Perdirjen Pajak itu ialah memberikan masa transisi selama 3 bulan (Periode 1 Januari sd 31 Maret 2025) bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan khususnya pembuatan faktur pajak, karena berubahnya dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain untuk barang non mewah.
Dalam masa transisi tersebut WP masih dapat mencantumkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) baik DPP Nilai lain dengan tarif 12%, atau DPP dari harga jual/penggantian/nilai impor sepenuhnya dengan tarif 11%.
"Walau diakui bahwa pihak DJP telah berupaya sangat keras untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut secepat mungkin, namun di sisi lain karena di saat yang bersamaan ada kewajiban perpajakan yang juga harus dilaksanakan oleh wajib pajak tentunya ini menambah tekanan kepada kedua belah pihak," tutur Pino.
Secara umum, Pino menilai penerapan Coretax memang menjadi simbol upaya pamungkas pemerintah untuk memperbaiki system administrasi perpajakan yang modern, akurat, sistematis, dan terintegrasi dengan mengacu kepada indentitas tunggal (single identification number).
Pino menjelaskan, Coretax bisa dikatakan modern karena nantinya system administrasi perpajakan dilakukan secara realtime melalui sistem online yang terhubung dengan server DJP, tanpa batasan waktu dan tempat, sehingga semua wajib pajak dapat melakanakan kewajiban perpajakannya sepanjang terhubung dengan internet.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Coretax Eror, DPR Desak DJP Benahi Sistem
Next Article Sistem Canggih DJP Punya Sistem Baru Deposit Pajak, Apa Itu?