Jakarta, CNBC Indonesia - Filipina tengah bersiap menghadapi demonstrasi akbar bertajuk "Trillion Peso March" pada Minggu (21/9/2025), ketika ribuan warga diperkirakan turun ke jalan di Manila untuk memprotes dugaan korupsi masif dalam proyek pengendalian banjir yang didanai pemerintah.
Aksi ini diberi nama dari estimasi Greenpeace yang menuding sekitar 17,6 miliar dolar AS atau setara lebih dari satu triliun peso dikorupsi dari proyek-proyek terkait iklim sepanjang 2023.
Tanggal 21 September dipilih bukan tanpa alasan. Hari itu bertepatan dengan peringatan deklarasi darurat militer oleh Presiden Ferdinand Marcos Sr. pada 1972.
Kebijakan itu memicu gerakan rakyat besar-besaran yang akhirnya menggulingkan kekuasaan Marcos pada 1989, setelah puluhan tahun berkuasa dengan tuduhan korupsi besar-besaran.
Kini, putranya, Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr., justru menjadi sorotan publik dalam krisis serupa. Menariknya, Marcos Jr. secara terbuka menyatakan simpati terhadap aksi massa.
"Apakah Anda bisa menyalahkan mereka turun ke jalan?" ujarnya dalam konferensi pers pekan ini.
"Kalau saya bukan presiden, mungkin saya akan ikut turun ke jalan bersama mereka. Tentu saja mereka marah. Mereka marah, saya pun marah. Kita semua harus marah, karena apa yang terjadi jelas tidak benar," tuturnya dilansir The Guardian.
Aksi ini diperkirakan semakin besar karena mendapat dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan gereja. Mereka menyebut kasus dugaan "ghost projects" atau proyek infrastruktur fiktif sudah keterlaluan, apalagi setelah banjir mematikan melanda beberapa daerah bulan lalu.
Kemarahan publik memuncak sejak Marcos menyinggung proyek-proyek tersebut dalam pidato kenegaraan pada Juli lalu.
Fenomena di Filipina juga dinilai sejalan dengan gejolak regional terkait penyalahgunaan kekuasaan. Bulan ini, gerakan protes yang dipimpin generasi muda di Nepal berhasil menggulingkan pemerintah. Sementara itu, di Indonesia, demonstrasi meluas menentang berbagai privilese untuk anggota parlemen dan berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat.
Gelombang serupa juga muncul di Timor Leste, di mana massa memprotes rencana pemberian mobil SUV mewah kepada anggota parlemen. Setelah tekanan publik, kebijakan itu pun dibatalkan.
Krisis Memburuk
Krisis politik Filipina juga makin dalam setelah Martin Romualdez, sepupu Presiden Marcos sekaligus Ketua DPR, menyatakan mundur pada Rabu (17/9/2025).
"Isu-isu seputar proyek infrastruktur tertentu telah menimbulkan pertanyaan yang membebani bukan hanya saya, tetapi juga lembaga yang kita layani bersama," katanya dalam pidato di depan sidang pleno.
Romualdez menegaskan pengunduran dirinya dilakukan dengan "hati penuh dan nurani yang bersih." Ia menambahkan langkah ini perlu diambil agar komisi independen infrastruktur bisa bekerja tanpa intervensi. "Saya mendukung penuh tuntutan akan akuntabilitas," tegasnya.
Menanggapi tekanan publik, Presiden Marcos menunjuk mantan hakim agung Andres Reyes untuk memimpin komisi beranggotakan tiga orang. Komisi ini ditugaskan menyelidiki proyek pengendalian banjir selama 10 tahun terakhir.
Penyelidikan makin bergema setelah pemilik sebuah perusahaan konstruksi mengaku bahwa hampir 30 anggota DPR dan pejabat Departemen Pekerjaan Umum menerima suap tunai.
Marcos menyatakan komisi tersebut akan memastikan keadilan ditegakkan. "Kami harus memastikan setiap peso uang publik digunakan untuk rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang," tegasnya.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terbongkar! Ada Proyek Fiktif Senilai Rp 5 Miliar di Kementerian