Fenomena Liking Gap, Mengapa Kita Merasa tak Disukai Orang Lain?

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mungkin banyak di antara kita yang secara diam-diam meyakini bahwa orang lain tidak menyukai kita. Perasaan cemas ini bisa muncul dalam berbagai interaksi, mulai dari pertemuan sosial, wawancara kerja, bahkan obrolan singkat.

Fenomena ini dikenal sebagai “liking gap”, sebuah kecenderungan psikologis di mana kita secara konsisten meremehkan seberapa besar orang lain menyukai kita. Konsep ini pertama kali diidentifikasi oleh seorang kandidat PhD psikologi sosial dari Universitas Yale, Erica Boothby. Boothby sendiri mengalami kecemasan sosial yang intens, di mana ia selalu merasa orang lain tidak menyukainya.

Suatu ketika, suaminya, yang juga seorang psikolog sosial, menyanggah asumsinya tersebut, meyakinkannya bahwa interaksi sosial yang dilakukannya jauh lebih baik dari yang ia bayangkan. Pengalaman itu memicu rasa ingin tahunya, dan ia pun memulai sebuah penelitian.

Mengapa Kita Merasa tidak Disukai?

Dikutip dari laman Women's Health pada Selasa (16/9/2025), dalam studinya, Boothby meminta orang-orang asing untuk berbicara selama lima menit, lalu menilai seberapa besar mereka menyukai lawan bicaranya, dan seberapa besar mereka pikir lawan bicaranya menyukai mereka. Hasilnya mengejutkan yaitu partisipan secara signifikan meremehkan seberapa besar orang lain menyukai mereka. Fenomena liking gap dinilai terbukti konsisten di berbagai konteks, budaya, dan kelompok usia.

Menurut Boothby, ada beberapa alasan psikologis di balik fenomena ini:

-Efek spotlight atau bias egosentris: Kita cenderung terlalu fokus pada diri sendiri dan menganggap kesalahan kecil yang kita buat terlihat jelas dan diperhatikan oleh orang lain.

-Suara kritis diri: Orang yang pemalu atau cemas memiliki suara hati yang lebih kritis, sehingga memperkuat liking gap.

-Sistem deteksi ancaman otak: Otak kita secara evolusioner terprogram untuk fokus pada hal-hal negatif, seperti risiko penolakan sosial. Bias negatif ini sering kali menenggelamkan pikiran-pikiran positif.

-Sorotan otak pada momen buruk: Kita cenderung mengingat dan terus-menerus memutar ulang momen-momen memalukan, sementara orang lain mungkin sudah melupakannya.

Peran Media Sosial dalam Memperburuk Liking Gap

Boothby berpendapat pandemi dan munculnya komunikasi digital telah memperparah liking gap. Komunikasi jarak jauh menghilangkan isyarat nonverbal seperti bahasa tubuh dan kontak mata, membuat kita semakin tidak yakin tentang perasaan orang lain.

Hal ini diperparah oleh media sosial, yang menurut psikoterapis Charlotte Fox Weber, telah mengubah keinginan alami manusia untuk disukai menjadi "permainan angka". "Ketika Anda terbiasa mengukur popularitas melalui jumlah suka dan pengikut, rasa harga diri Anda menjadi rapuh, sangat waspada, dan bergantung pada umpan balik eksternal," ujar Fox Weber. Ketergantungan pada metrik digital ini dinilai membuat kita lebih sulit menghadapi ambiguitas dalam interaksi tatap muka, di mana tidak ada angka pasti yang mengonfirmasi bahwa kita disukai.

Bagaimana Menutup Liking Gap?

Menyadari keberadaan liking gap adalah langkah pertama untuk mengatasinya. Boothby mempraktikkan hal ini dengan mengingatkan dirinya sendiri bahwa orang lain tidak menilai dirinya sekeras yang ia bayangkan, karena mereka juga sibuk mengkhawatirkan diri sendiri. Ia menyarankan untuk mengalihkan fokus dari diri sendiri ke orang lain dengan mengajukan pertanyaan dan mendengarkan dengan saksama.

Weber juga memberikan nasihat praktis yaitu perhatikan isyarat fisik lawan bicara, seperti postur tubuh yang terbuka atau kontak mata. Meskipun demikian, ia menekankan pentingnya tidak terlalu menganalisis.

Lebih dari itu, Weber mengingatkan bahwa tidak semua orang akan menyukai kita, dan itu adalah hal yang normal. "Menerima bahwa pikiran orang lain berada di luar kendali kita adalah hal yang penting," kata dia.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|