Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengusaha smelter yang tergabung dalam Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), bersama dengan asosiasi lainnya seperti KADIN, APINDO, APBI, dan IMA menggelar pertemuan dengan Dewan Ekonomi Nasional (DEN), pada Kamis (16/1/2025). Pertemuan ini dilakukan untuk menyampaikan kendala dan permasalahan yang dialami para pelaku industri, di tengah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Pertemuan ini juga menyoroti implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang dinilai perlu untuk ditinjau kembali. Sebab, wacana baru soal penempatan DHE yang akan menjadi 50% dalam jangka waktu 12 Bulan dinilai akan mengganggu operasional perusahaan industri, salah satunya industri pengolahan dan pemurnian nikel.
Meski kebijakan ini dirancang untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan memperkuat perekonomian domestik, banyak pelaku industri merasa bahwa implementasi peraturan ini justru dapat memberikan tantangan yang memberatkan khususnya bagi sektor-sektor yang berbasis ekspor seperti industri smelter nikel.
FINI menekankan bahwa peraturan ini perlu segera direvisi guna mengatasi berbagai masalah yang dapat berujung pada risiko likuiditas, menurunnya daya saing, hingga potensi kerugian sosial-ekonomi yang meluas.
Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia, Alexander Barus mengatakan, wacana baru soal DHE perlu untuk ditinjau kembali untuk mencegah efek domino terhadap berbagai aspek perekonomian dan industri smelter nikel. Dia juga menilai, peraturan yang berlaku saat ini tidak perlu diubah karena masih dalam tingkat yang dapat dikendalikan oleh para pelaku industri.
"FINI mengusulkan agar kebijakan tentang DHE yang berlaku saat ini tidak diubah, meskipun berat tetapi masih dalam tingkat managable. Di samping itu, prinsip konsistensi dan kepastian aturan perlu kita lembagakan agar para pengusaha dan investor dapat bertumpu kepada dukungan pemerintah yang solid dalam ruang kepastian," ungkapnya, Kamis (16/1/2025).
FINI menggarisbawahi, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah, negara ini memerlukan dukungan penuh dari sektor industri, termasuk industri nikel yang merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Sayangnya, dengan adanya peraturan DHE yang dinilai terlalu membatasi, banyak perusahaan nikel menghadapi masalah dalam mengalokasikan dana untuk investasi, operasional, dan ekspansi.
Selain berpotensi mempengaruhi operasional pelaku usaha seperti arus kas dan pembayaran kepada pihak ketiga, peraturan DHE juga berdampak terhadap arus kas perusahaan. Kebijakan DHE yang mewajibkan sebagian besar pendapatan ekspor disimpan di dalam negeri telah mempersulit pengelolaan dana operasional.
Sebagai akibatnya, pelaku industri menghadapi tantangan dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada supplier, perbankan, pajak, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kondisi ini tidak hanya mengganggu kelancaran operasional, melainkan juga meningkatkan risiko likuiditas yang signifikan.
Selain dampak langsung pada operasional perusahaan, FINI juga mengkhawatirkan sikap investor dan mitra asing terkait dengan inkonsistensi kebijakan pemerintah yang kerap berubah. Inkonsistensi ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan terhadap stabilitas regulasi di Indonesia, sehingga pada akhirnya memengaruhi daya saing dan minat investor asing untuk menanamkan modal di sektor nikel.
Dampak Kebijakan terhadap Ekonomi Daerah dan Inisiatif Keberlanjutan
Masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan DHE juga berpotensi berdampak pada ekonomi daerah. Industri nikel merupakan salah satu penggerak utama perekonomian di wilayah penghasil nikel. Ketidakstabilan operasional perusahaan dapat menyebabkan domino efek, seperti pengurangan lapangan kerja, penurunan pendapatan daerah, dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi di komunitas lokal. Di sisi lain, inisiatif keberlanjutan yang tengah digalakkan oleh banyak perusahaan juga berisiko tertunda.
"Dampak domino dari peraturan ini tidak hanya akan dirasakan oleh pelaku industri nikel, tetapi juga oleh seluruh rantai pasok terkait. Kami berharap kebijakan DHE bisa membuat investasi di sektor ini tidak terhambat," terang Alexander.
Tidak hanya itu, FINI juga menyoroti bahwa kebijakan DHE tidak berdiri sendiri dalam memengaruhi industri. Kondisi ekonomi makro yang sulit turut memperberat beban pelaku usaha. Harga jual komoditas nikel yang menurun, sementara biaya bahan baku terus meningkat, menekan margin keuntungan perusahaan. Wacana kenaikan royalti serta penerapan Global Minimum Tax (GMT) juga menambah beban yang harus ditanggung oleh industri.
Situasi ini menciptakan tekanan berlapis yang tidak hanya memengaruhi keberlangsungan bisnis, tetapi juga menurunkan daya saing Indonesia di pasar global. Jika situasi ini tidak segera diatasi, Indonesia berisiko kehilangan posisi strategisnya sebagai salah satu pemain utama dalam industri nikel dunia.
Lantas, FINI berharap pemerintah mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha dalam memformulasikan kebijakan baru terkait DHE. Dialog antara pemerintah dan industri dinilai krusial untuk mencapai titik temu yang dapat mendukung tujuan nasional tanpa mengorbankan keberlangsungan bisnis dari para pelaku industri.
"Target pertumbuhan ekonomi nasional dan keberlanjutan sektor industri adalah hal yang harus dicapai bersama. FINI siap menjadi mitra pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut," pungkas Alexander.
(rah/rah)
Saksikan video di bawah ini:
Video: DEN: 3 Kebijakan Industrialisasi, Kunci Majukan Ekonomi RI
Next Article Video: Nikel RI Akhirnya Tercatat di Bursa Dunia, Begini Prosesnya!