Jakarta, CNBC Indonesia - Eropa bersiap memangkas regulasi untuk memudahkan pengembangan Artificial Intelligence (AI) di kawasan tersebut. Namun, tak semua setuju dengan pendekatan itu sebab masih ada risiko besar AI akan menggantikan pekerjaan manusia.
Dalam pertemuan puncak terkait AI di Paris, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengindikasikan langkah negaranya untuk memangkas regulasi terkait AI untuk menggenjot pertumbuhan. Ia memberi contoh soal kebakaran hebat katedral Notre-Dame yang diklaim cepat dibangun ulang dengan regulasi yang disederhanakan.
"Pendekatan Notre-Dame akan diadopsi untuk pusat data, otorisasi masuk pasar, AI dan daya tarik," kata dia, dikutip dari Reuters, Selasa (11/2/2025).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Kepala Digital Uni Eropa, Henna Virkkunen. Dia juga menambahkan aturan baru akan diterapkan dengan cara yang ramah bisnis.
Menurutnya, aturan yang ada sekarang terlalu banyak dan tumpang tindih. Uni Eropa akan mencoba memangkasnya.
"Saya setuju dengan fakta kita memiliki terlalu banyak regulasi yang tumpang tindih," jelasnya.
"Kami akan memangkas birokrasi serta beban administratif dari industri," ujar Virkkunnen menambahkan.
Meski begitu, tidak semua setuju dengan pendekatan regulasi AI yang lebih longgar. Direktur Kebijakan di Data & Society, Brian Chen mengkhawatirkan tanggapan negara lain dengan upaya Eropa soal regulasi AI.
"Saya khawatir akan ada tekanan dari AS dan negara lain untuk melemahkan UU AI di Uni Eropa dan membuat perlindungan yang ada lebih lemah," jelas Chen.
Di sisi lain, para pemimpin buruh juga khawatir dengan dampak AI pada pekerja. Misalnya dampak gaji yang akan makin kecil karena pekerjaan sudah bisa terotomasi dengan AI, hingga minimnya perlindungan terhadap prospek pekerjaan baru.
Gaji Makin Kecil
Pada 2019 lalu, penelitian dari Pascual Restrepo, Acemoglu mengatakan jangan berharap kenaikan gaji dari pengembangan AI. Meski produktivitas bertambah dan beberapa pekerjaan repetitif akan digantikan AI, tetapi pertumbuhan keuangan perusahaan akan diserap oleh perusahaan, tanpa disalurkan untuk kesejahteraan pekerja.
Menurut studi ekonomi dari Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih, otomasi pekerjaan kerah biru di Jerman, Prancis, Spanyol, dan Belanda, menunjukkan pendapatan dari peningkatan produktivitas akan lari ke pemegang saham dan tidak ke penambahan gaji pekerja.
Untuk pekerja yang berbasis shift dan memiliki keterampilan rendah, AI justru berpotensi membatasi potensi pemasukan. Ahli memperingatkan bahwa para pekerja mungkin akan lebih sedikit memiliki pekerjaan, sebab banyak tugas mereka yang nantinya bersifat otomatis.
Veena Dubal, profesor hukum dari University of California, mengatakan banyak perusahaan yang sudah mengadopsi AI untuk mengukur produktivitas dan menentukan gaji pekerja di masa depan.
Meski teknologi AI belum bisa menyamai kualitas pekerja manusia, tetapi perusahaan akan menerimanya demi menghemat gaji karyawan level rendah.
Penelitian Dubal menunjukkan evaluasi ini akan berdampak pada gaji yang lebih rendah dan ketidaksetaraan pada pemasukan pekerja. Ia menyebutnya 'diskriminasi gaji algoritmik', yakni ketika pekerja secara individu memiliki pemasukan yang berbeda berdasarkan evaluasi yang dibuat oleh AI tanpa mereka ketahui pengukurannya.
Ia mengatakan jika perusahaan makin banyak berinvestasi pada teknologi pendeteksi produktivitas, masalah ini akan makin parah.
Kendati demikian, bisa jadi pekerja-pekerja yang lebih mengutamakan kreativitas dan kemampuan yang tak bisa digantikan AI, akan mendapat gaji lebih baik.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jurus Investasi Venture Capital Lokal Hadapi Persaingan 2025
Next Article PHK Menggila, Bos Google Warning Pangkas Karyawan Gila-gilaan