Jebakan Utang China Hantui Dunia, 75 Negara di Ambang Tsunami Krisis

1 week ago 11

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang pembayaran utang yang sangat besar tengah mengancam negara-negara paling rentan di dunia, seiring dengan dimulainya penagihan masif oleh China atas pinjaman-pinjaman besar yang dikeluarkannya selama lebih dari satu dekade terakhir.

Laporan baru yang dirilis oleh lembaga kajian kebijakan luar negeri Australia, Lowy Institute, pada Selasa (27/5/2027), sebagaimana dikutip The Guardian, mengungkapkan bahwa pada tahun 2025 mendatang, 75 negara termiskin di dunia dijadwalkan membayar utang sebesar US$22 miliar kepada China, jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Total pembayaran utang ke China dari negara-negara berkembang pada tahun depan diperkirakan mencapai US$35 miliar, dan utang dari 75 negara termiskin menyumbang mayoritas dari jumlah tersebut. Dalam laporan itu, Lowy Institute menyebut bahwa "China kini lebih berperan sebagai penagih utang ketimbang pemberi pinjaman bagi dunia berkembang."

Sebagian besar pinjaman tersebut diberikan di bawah program unggulan Presiden Xi Jinping, yaitu Belt and Road Initiative (BRI) - proyek investasi infrastruktur global yang telah membiayai pembangunan sekolah, jembatan, rumah sakit, pelabuhan, hingga bandara di berbagai negara berkembang.

Program ini sempat menjadikan China sebagai pemberi pinjaman bilateral terbesar di dunia, dengan total pinjaman mencapai lebih dari US$50 miliar pada 2016, melampaui seluruh kreditor Barat digabungkan.

Namun kini, pembayaran utang justru menimbulkan tekanan luar biasa pada anggaran nasional negara-negara peminjam, mengancam pendanaan untuk sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan mitigasi perubahan iklim.

"Pemberian pinjaman dari China kolaps tepat saat dunia membutuhkannya, dan justru menciptakan arus keluar keuangan bersih yang besar ketika negara-negara tengah mengalami tekanan ekonomi hebat," tulis laporan tersebut.

Risiko "Diplomasi Utang"

Laporan Lowy Institute juga memperingatkan bahwa lonjakan pembayaran utang ini berpotensi menjadi alat "pengaruh politik" bagi Beijing. Hal ini menjadi makin signifikan di tengah pemangkasan besar-besaran bantuan luar negeri oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

Beberapa negara yang baru-baru ini menerima pinjaman besar dari China - seperti Honduras, Nikaragua, Kepulauan Solomon, Burkina Faso, dan Republik Dominika - semuanya tercatat telah berpindah pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Beijing dalam 18 bulan terakhir.

China juga tetap menggelontorkan dana ke mitra strategisnya seperti Pakistan, Kazakhstan, Laos, dan Mongolia, serta negara-negara yang memiliki cadangan logam dan mineral strategis, seperti Argentina, Brasil, dan Indonesia.

Namun, situasi ini menempatkan China dalam posisi sulit. Di satu sisi, ada tekanan diplomatik internasional untuk merestrukturisasi utang-utang yang tak berkelanjutan, tetapi di sisi lain, tekanan domestik dalam negeri China mendorong perlunya segera menarik kembali dana karena perlambatan ekonomi mereka sendiri.

China Bantah Tuduhan "Jebakan Utang"

China berulang kali membantah tuduhan bahwa mereka sengaja menciptakan jebakan utang bagi negara-negara berkembang. Sejumlah negara penerima pinjaman juga membela China, menyebut bahwa Beijing bersedia membantu saat kreditor Barat menolak.

Bagi negara-negara ini, BRI dianggap sebagai satu-satunya sumber dana untuk membangun infrastruktur dasar.

Namun temuan Lowy menggarisbawahi adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan pinjaman ini, terlebih karena minimnya transparansi dari pihak China. Dalam banyak kasus, data tentang nilai pinjaman, bunga, dan ketentuan pembayaran tidak dipublikasikan.

Sebuah studi sebelumnya dari AidData pada 2021 bahkan menyebut bahwa negara-negara berkembang menyimpan "utang tersembunyi" kepada China sebesar sekitar US$385 miliar, angka yang jauh lebih tinggi dari estimasi resmi.

Laporan Lowy sebelumnya juga mencatat bahwa Laos kini terperosok dalam krisis utang serius, sebagian besar karena investasi besar-besaran di sektor energi yang didanai oleh China. Ini memperkuat kekhawatiran bahwa pinjaman BRI bukan hanya memicu ketergantungan finansial, tapi juga memicu ketidakstabilan ekonomi jangka panjang.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Ada Paket Stimulus Baru - Perusahaan Bangkrut, Bos Besar Dihuku

Next Article Kabar Baik dari Xi Jinping, China Bakal Kurangi Tarif Impor Produk Ini

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|