Kantong Warga RI Menipis Kian Jelas, Ekonom Tunjukan Bukti Barunya!

6 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Impor barang konsumsi yang rutin naik menjelang masa Ramadan atau Lebaran, pada 2025 malah merosot drastis. Kondisi anomali ini dianggap kalangan ekonom menjadi pertanda daya beli masyarakat Indonesia tengah melemah.

Mengacu pada data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), untuk periode Januari-Februari 2025, nilai kumulatif impor barang konsumsi hanya sebesar US$ 3,11 miliar, anjlok hingga 14,28% dibanding periode yang sama pada tahun lalu senilai US$ 3,63 miliar.

Khusus untuk data per Februari 2025 atau satu bulan menjelang mulainya puasa Ramadan hingga Lebaran atau Idulfitri 1446 Hijriah, impor barang konsumsi cuma US$ 1,47 miliar, atau merosot 10,61% dibanding data per Januari 2025 yang nilainya US$ 1,64%. Dibanding Februari 2024 yang sebesar US$ 1,86 miliar merosot lebih dalam, yaitu 21,05%.

Kondisi ini jauh berbeda dengan periode menjelang Ramadan atau Lebaran 2024, yang juga jatuh pada Februari. Saat itu, impor barang konsumsi secara kumulatif malah naik 22,73%, dari periode yang sama tahun lalu senilai US$ 2,96 miliar menjadi hanya US$ 3,63 miliar.

"Memang ada perbedaan yang cukup mencolok dan ini berkaitan dengan daya beli," kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Selasa (17/3/2025).

Faisal mengakui, pada tahun lalu, kinerja impor barang konsumsi memang ada faktor pendorong, salah satunya masuknya masa Pilpres dan Pileg 2024. Masa itu membuat konsumsi pemerintah dan belanja Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) naik drastis, dan memberi efek rambatan ke konsumsi rumah tangga.

Akibatnya, saat itu tingkat inflasi terkerek naik hingga mencapai 2,75% secara tahunan atau year on year (yoy), lain halnya dengan periode Februari 2025 yang justru mengalami deflasi sebesar 0,09% yoy.

Namun, jika mengesampingkan faktor adanya Pilpres dan Pileg, sebagaimana yang terjadi pada Februari 2023, impor barang konsumsinya juga masih melesat karena bulan itu juga menjelang Ramadan dan Lebaran 2023. Impor barang konsumsi secara kumulatif naik 6,42% menjadi US$ 178,6 juta. Sedangkan inflasinya tembus 5,47% yoy.

Kondisi ini membuat Direktur Riset Bright Institute Andri Perdana tak segan menyatakan aktivitas impor barang konsumsi jelang Ramadan dan Lebaran 2025 terjadi anomali. Ia menganggap, permasalahan ini tak terlepas dari daya beli masyarakat yang tak kunjung pulih.

Menurut Andri, fenomena penurunan daya beli sebenarnya sudah berjalan cukup lama setidaknya sejak awal 2023, sehingga kalau per Februari ini saja penurunan impor barang konsumsi secara tahunan mencapai 21,05%, atau secara kumulatif sejak Januari hingga akhir Februari telah turun 14,28% dari tahun sebelumnya, maka bisa dipastikan daya beli warga RI telah ambruk.

"Jadi penurunan impor barang konsumsi hingga -21,05% yoy atau -10,61% month to month (mtm) ini bisa kita katakan anomali. Karena di bulan kemarin yakni Januari 2025 saja, penurunannya sudah -7,16% yoy atau -28,65% mtm yang artinya baseline-nya seharusnya sudah sangat rendah, yang biasanya di bulan selanjutnya setidaknya secara mtm akan positif," tutur Andri.

Andri mengingatkan, BPS memang telah menyebutkan faktor terbesar dari penurunan impor barang konsumsi ini berasal dari buah-buahan, yang turun sebesar US$ 60,9 juta mtm. Ketika ditinjau lebih jauh, penurunan signifikan sebesar US$ 29,5 juta dari impor jeruk mandarin dan US$ 17,9 juta dari impor apel yang besar pengaruhnya lebih disebabkan selesainya masa imlek.

Namun, ia menilai, ini justru menunjukkan bahwa dengan adanya efek konsumsi tahun baru dan imlek saja, pertumbuhan impor barang konsumsi secara keseluruhan pada Januari tetap rendah dan pada Februari ini nilainya bukannya kembali naik namun justru semakin turun, hingga mencapai -21,05% yoy.

"Dengan kata lain, nilai impor barang konsumsi yang rendah di bulan Februari ini bukan hanya karena turunnya kuantitas impor buah-buahan, daging, ataupun beras secara musiman, namun juga karena permintaan barang konsumsi secara keseluruhan belum pulih dari penurunan bulan lalu," tuturnya.

Tak hanya itu, impor daging hewan pun merosot 44,8% pada bulan sebelum Ramadan dan Lebaran 2025. Catatan itu, kata Andri, bisa saja dipengaruhi kuota impor daging kerbau yang tadinya diserahkan kepada swasta kini mayoritas diambil BUMN, namun dari BUMN sendiri belum ada yang melakukan realisasi impor karena persediaannya dinilai masih banyak di pasar.

"Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat permintaan barang memang masih rendah akibat daya beli yang lemah, sehingga banyak barang konsumsi yang tidak laku dan akibatnya membatasi insentif untuk mengimpor barang konsumsi bahkan ketika jelang lebaran sekalipun," tuturnya.

"Sehingga jika ada harga barang konsumsi bertambah mahal sekalipun, artinya bukan karena tingkat permintaan atau kelangkaan namun lebih karena kenaikan harga produksi sendiri, seperti karena lemahnya nilai tukar rupiah yang mendorong kenaikan harga barang-barang impor," tegasnya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga memiliki sudut pandang yang sama. Ia mengatakan, penurunan impor barang konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan sebesar -0,7% secara bulanan atau month to month (mtm) per Februari 2025.

Kondisi itu menandakan daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga permintaan barang sangat minim di dalam negeri untuk kebutuhan pangan. Tak adanya permintaan membuat harga-harga barang turun, bahkan tak perlu dipenuhi dari impor.

"Artinya terkonfirmasi memang daya beli masyarakat sedang rendah sehingga permintaan impor turun, harga makanan minuman secara umum juga turun," kata Bhima.

Bhima berpendapat, turunnya impor barang konsumsi menjelang masa Lebaran atau Idul Fitri 2025 maupun memasuki masa Ramadan tak pernah terjadi sebelumnya. Pada 2024 saja, nilai impor barang konsumsi masih tercatat naik baik secara bulanan (mtm) maupun tahunan (yoy).

"Ini anomali yang sebelumnya tidak pernah terjadi," ujar ekonom jebolan University of Bradford itu.

Selain menilai kondisi impor barang konsumsi sebagai kondisi anomali jelang Lebaran, ia menegaskan seharusnya impor barang konsumsi tengah terbuka lebar akibat kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

"Penurunan impor barang konsumsi dengan rezim regulasi Permendag 8/2024 yang pro impor pastinya kontradiksi. Pemerintahnya kan pro impor, jumlah penduduk nya besar tapi impor anjlok jelang Ramadan. Tidak ada penjelasan lain kecuali risiko resesi ekonomi sedang tinggi," tegasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menyatakan hal yang serupa. Ia mengatakan, merosotnya impor barang konsumsi menjelang periode musiman seperti Hari Besar Keagamaan Nasional merupakan bentuk nyata tengah merosotnya daya beli warga RI.

Ia berpendapat, daya beli masyarakat tengah bermasalah karena memang dari sisi pendapatan atau income riil tengah menurun, disebabkan dampak PHK yang terus menerus terjadi di berbagai sektor usaha.

"Perlu diwaspadai, karena dampak PHK besar-besaran melemahkan daya beli masyarakat, apalagi karena harga pangan naik sekarang. Maka stok pangan juga harus cukup, distribusi dan logistik barang harus lancar," tegasnya.

Ia pun menyarankan pemerintah untuk segera merespons permasalahan ini dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi ekspansif, baik dari sisi fiskal maupun moneter. Sebab bila terus berlanjut menurutnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 cenderung akan turun.

Mengutip catatan BPS, barang konsumsi yang turun tajam di antaranya ialah buah-buahan dari US$ 175,4 juta per Januari 2025 menjadi US$ 114,5 juta pada Februari 2025, daging hewan dari US$ 69,3 juta menjadi US$ 24,6 juta, dan Serealia dari US$ 37,8 juta menjadi US$ 0.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Andalkan Penjualan Ramadan, Bisnis Ritel "Terhambat" Daya Beli

Next Article Nasib Warga RI Suram, Susah Cari Kerja & Makan Tabungan Pula!

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|