Badan Pengelola Geopark Jogja saat memetakan dan memverifikasi lapangan di Objek Wisata Alam (OWA) Plunyon Kalikuning, Kabupaten Sleman, Kamis (20/11). - Harian Jogja/Andreas Yuda Pramono.
Harianjogja.com, JOGJA—Badan Pengelola Geopark Jogja melakukan pemetaan dan verifikasi lapangan untuk menambah geopark site sebagai pelengkap dalam penyusunan analisis nilai internasional warisan geologi Geopark Jogja di Objek Wisata Alam (OWA) Plunyon Kalikuning, Kabupaten Sleman, Kamis (20/11).
Analisis ini akan menjadi pelengkap dokumen pengajuan Geopark Jogja ke UNESCO guna memperoleh status UNESCO Global Geopark. General Manager Badan Pengelola Geopark Jogja, Dihin Nabrijanto, mengatakan dirinya sempat berdiskusi dengan pakar geologi asal Malaysia, Profesor Emeritus Dato’ Ibrahim Komoo di Makassar beberapa waktu lalu.
Dari pertemuan tersebut, Geopark Jogja mendapat masukan mengenai pentingnya menggali aspek geoarkeologi, geo hazard dan stratifikasi vulkanik sebagai penguat narasi dan bukti jejak aktivitas geologi yang berpengaruh pada peradaban masyarakat Jogja.
Atas dasar itu, tim melakukan penelusuran jejak peradaban di sejumlah candi seperti Sambisari, Kadisoko, Kedulan, dan Morangan pada Rabu (19/11). “Kami ingin menunjukkan bagaimana aktivitas geologi dapat mempengaruhi peradaban manusia” ujar Dihin di Plunyon.
Adapun khusus pemetaan di OWA Plunyon bertujuan mencari bukti keterhubungan atau jejak sumbu imajiner, seperti kawasan Kaliadem hingga Pantai Selatan sebagai satu kesatuan geologi. Menurut Dihin, keberadaan sumbu imajiner dapat ditelusuri melalui warisan geologi tersebut.
Material letusan Gunung Merapi mengalir hingga ke selatan dan membentuk Gumuk Pasir. Jejak geologis ini menjadi kekuatan pembeda Geopark Jogja dibanding Geopark Gunung Sewu maupun Geopark Kebumen. “Kami akan mengangkat narasi Babad Bumi Jogja yang pada awalnya merupakan lautan, lalu menjadi daratan akibat aktivitas Gunung Merapi,” ujarnya.
Kemiripan Karakter
Kepala Pusat Studi Geoheritage dan Geopark UPN Veteran Yogyakarta, C. Prasetyadi, menjelaskan geopark di Jawa bagian selatan seperti Tulungagung, Gunung Sewu, Ijen, Kebumen, dan Jogja memiliki kemiripan karakter. Karena itu, masing-masing geopark perlu menonjolkan pembeda. “Kalau Geopark Jogja ingin unik, harus ada kekhasan yang tidak dimiliki geopark lain,” ujarnya.
Menurutnya, kekhasan tersebut dapat digali melalui blending antara unsur budaya dan bentang alam. DIY memiliki keduanya, termasuk konsep Hamemayu Hayuning Bawana yang menjadi payung hubungan manusia dengan alam.
Geopark dan konsep tersebut memiliki tujuan serupa: melestarikan Bumi demi kesejahteraan masyarakat.
Prasetyadi juga menyinggung simbol-simbol budaya yang berkaitan dengan mitigasi bencana, seperti narasi Ratu Kidul sebagai pengingat bahaya gelombang laut selatan maupun legenda Mbah Petruk Merapi yang mengisyaratkan tanda-tanda erupsi. “Tugas Geopark Jogja adalah membuat konsep-konsep budaya ini menjadi terang, dan semua itu bisa dijelaskan lewat bukti geologi seperti sumbu imajiner,” katanya.
Ia membandingkan Gunung Merapi dengan Gunung Lawu yang sama-sama memiliki peran dalam pembentukan peradaban. Namun, material Gunung Lawu tidak memiliki aliran hilir karena terhalang perbukitan, sedangkan material Gunung Merapi dapat mengalir melalui zona transportasi yang kini menjadi wilayah Kota Jogja hingga ke selatan.
“Jogja punya lorong besar yang membawa material Merapi ke laut selatan, terlihat dari posisi Perbukitan Menoreh dan Gunungkidul yang mengapitnya,” jelasnya.
Di hulu OWA Plunyon, Prasetyadi menunjukkan bongkahan besar lava beku sebagai bagian dari zona inti struktur Merapi. Ia menjelaskan bahwa gunung api di Pulau Jawa merupakan stratovolcano yang terbentuk dari lapisan erupsi dan periode hening. “Bayangkan aliran material panas yang menyebar lalu mendingin, menyusut, dan membentuk rekahan seperti tiang-tiang batu,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


















































