Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sedikit menguat pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (7/2/2025), namun masih berpotensi tertekan ke depan akibat permasalahan eksternal.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka menguat 0,03% di angka Rp16.320/US$ pada hari ini, Jumat (07/02/2025). Tetapi selang 14 menit sejak perdagangan dibuka, rupiah terdepresiasi 0,09%, yang menunjukkan besarnya ketidakpastian di pasar keuangan.
Sumber permasalahan tertekannya kurs rupiah beberapa hari terakhir yang betah bergerak di kisaran atas Rp 16.400/US$ adalah ekonomi Amerika Serikat yang kian menguat. Membuat terus munculnya fenomena strong dollar.
"Sehingga implikasinya adalah US dollar yang menguat secara merata di hampir seluruh negara. Jadi relatif menguat relatif dengan euro, China yuan, Japanese yen, sehingga ini terjadi di semua negara. Rupiah juga tertekan tapi kita lihat stabilitasnya terjaga," kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juli Budi Winantya dalam acara di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Aceh, Jumat.
Juli menjelaskan, penguatan ekonomi AS ini ada beberapa faktor pendukung. Dari sisi permintaan, penguatan dipicu dari level kelas masyarakat menengah bawah, akibat dukungan stimulus fiskal dari pemerintah yang mendorong konsumsi masyarakat kelas itu.
Level kelas masyarakat atas juga ada dorongan dari faktor-faktor yang disebut wealth effect, yakni harga saham hingga properti yang dimiliki kelas atas ini terus meningkat, sehingga konsumsi kelas atas menguat.
Sementara itu, dari sisi produksi, belanja di Amerika Serikat itu lebih tinggi dari negara-negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan. Belanja yang tinggi di sektor high tech dan AI kata Juli membuat produktivitas yang tinggi di negeri Paman Sam itu.
"Hal itu membuat ekonomi AS masih tumbuh kuat sehingga kita perkirakan pertumbuhan ekonomi AS kan kita revisi ke atas dari beberapa faktor tadi, di sisi lain Eropa ekonominya lemah, ada masalah fiskal konsolidasi di Prancis dan Jerman, dan di China masih ada permasalahan di sektor properti," tegasnya.
Selain itu, Juli mengungkapkan, di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump periode kedua ini ada tambahan kebijakan-kebijakan yang diterapkan terkait tarif perdagangan. Ini ia anggap akan membuat inflasi AS makin terdorong ke atas, padahal sudah didorong dari sisi tingginya permintaan.
"Dari sisi tax juga ada insentif lagi buat ekonomi AS terutama dari sisi korporasi ini akan tingkatkan demand, dorong pertumbuhan ekonominya, dan tentu akan tingkatkan inflasi, tapi di sisi lain karena dia potong tax, defisitnya meningkat, sehingga butuh pembiayaan besar ini berdampak ke yield US Treasury jangka pendek-panjang," ucap Juli.
Dengan tingginya belanja untuk mendorong stimulus, dan membuat kebutuhan pembiayaan anggaran yang tinggi, Trump kata Juli juga masih membuat kebijakan yang membuat pasar tenaga kerja di AS makin ketat, terutama imbas kebijakan imigrasinya dengan mendeportasi para tenaga kerja yang ia anggap tak legal.
"Hal-hal ini mengakibatkan ketidakpastian di global, akibatnya karena inflasi tinggi ekspektasi penurunan Fed Fund Rate tentunya berbeda-beda sehingga kita akan lebih lambat dari perkiraan semula baik dari sisi demand maupun dari segi tarif tadi," ucap Juli.
Juli juga memperkirakan dengan berbagai kebijakan itu, ruang bagi bank sentral AS, yakni The Fed untuk menurunkan suku bunga acuannya ke depan semakin terbatas. Juli memperkirakan The Fed hanya akan menurunkan suku buna acuannya satu kali sepanjang tahun ini. Pemangkasan suku bunga FFR ini akan terjadi pada paruh kedua 2025.
"Selain FFR, yield juga akan lebih tinggi sehingga imbal hasil di US akan lebih menarik ini akan tingkatkan ketidakpastian global. Kita perkirakan FFR di BI sedikit lebih rendah dari perkiraan semula kita perkirakan ke depan FFR akan cut 1 kali di 2025 ini yang akan dilakukan di semester 2," tuturnya.
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Harga Cabai Cs Naik, Inflasi RI Januari 2025 Diramal "Memanas"
Next Article Siap-Siap! Bahaya Ini Mengintai Dompet Warga RI di Awal 2025