Jakarta, CNBC Indonesia - Jerman merupakan kekuatan ekonomi terbesar di Eropa, dan ketiga di dunia. Namun Negeri Rhein itu saat ini mengalami sebuah persoalan ekonomi yang besar, dengan Berlin tengah dijuluki 'Orang Sakit Eropa'.
Perekonomian menjadi salah satu perhatian utama para pemilih Jerman menjelang pemilihan umum hari Minggu. Dalam beberapa tahun terakhir, Jerman telah berubah dari pusat kekuatan ekonomi Eropa menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terhambat di zona euro.
Bagi sebagian orang, hal itu menimbulkan pertanyaan eksistensial tentang model ekonomi negara itu, yang lebih bergantung pada industri dan ekspor daripada sebagian besar ekonomi besar lainnya. Apalagi, negara itu pernah mencapai masa keemasan ekonomi, sebelum akhirnya terjatuh dalam masa perlambatan.
Cerita Keemasan Jerman
Setelah Perang Dunia Kedua, ketika sebagian besar negara itu hancur, Jerman Barat menunjukkan bahwa ekonominya dapat bangkit dengan cepat dari kehancurannya, dalam apa yang disebut Wirtchaftswunder atau "keajaiban ekonomi".
Diperkenalkannya mark Jerman, penghapusan kontrol harga, dan tingginya tingkat investasi modal berkat rencana Marshall dari Amerika Serikat (AS) untuk rekonstruksi pascaperang merupakan pendorong pemulihan.
Pada tahun 1989, tahun runtuhnya Tembok Berlin, Jerman merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia. Namun, penyatuan kembali negara itu menimbulkan biaya yang sangat tinggi. Perlambatan permintaan ekspor selama dekade tersebut menyebabkan angka pengangguran dua digit dan, pada akhir tahun 1990-an, Jerman dicap sebagai "orang sakit Eropa."
Kanselir saat itu, Gerhard Schroeder, kemudian menerapkan reformasi ketenagakerjaan yang ketat., Ia memberi sanksi kepada orang yang menolak tawaran pekerjaan dan membatasi tunjangan pengangguran, antara tahun 2002 dan 2005.
Meskipun reformasi tersebut berdampak buruk pada standar hidup, yang mengakibatkan peningkatan pekerja bergaji rendah dan pekerjaan sementara, para pendukungnya berpendapat bahwa reformasi tersebut berkontribusi pada penurunan tajam pengangguran, khususnya pengangguran jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi meningkat pesat karena Jerman berpegang teguh pada model ekonomi yang dicirikan oleh basis industri yang kuat, dengan mobil sebagai produk andalannya. Sebagai negara yang maju secara teknologi, Jerman memanfaatkan keunggulan komparatifnya dengan berfokus pada produk-produk kelas atas.
Energi Murah
Pertama di bawah Schroeder kemudian penggantinya Angela Merkel, Jerman dan industrinya bergantung pada impor energi murah dari Rusia. Hal ini didapatkan melalui kemitraan energi yang dipertahankannya bahkan setelah invasi Rusia ke Georgia pada tahun 2008 dan aneksasi Krimea pada tahun 2014.
Setelah mengamankan pasokan energi yang murah dan melimpah dari Moskow, Jerman memutuskan pada tahun 2011 untuk menghentikan energi nuklir setelah bencana nuklir di Fukushima. Jerman berencana untuk menutup pabrik terakhir pada tahun 2022.
Setahun sebelum invasi Rusia ke Ukraina, 32% gas, 34% minyak mentah, dan 53% batu bara keras yang diterima oleh pembangkit listrik dan pembuat baja Jerman berasal dari Rusia.
Ekspor yang Kuat
Pada tahun 2002, euro menjadi kenyataan bagi 320 juta orang. Jerman muncul sebagai pemenang terbesar karena berbagi mata uang yang sama dengan rekan-rekan Eropa mereka. Bagi negara yang dibangun atas kekuatan basis ekspornya, nilai tukar 2 banding 1 antara D-Mark dan euro sangat menguntungkan bagi eksportir, membuat barang mereka terlihat lebih murah di pasar Eropa.
Pertumbuhan pesat China, yang dipercepat dengan bergabungnya China ke Organisasi Perdagangan Dunia pada tahun 2001, mendatangkan permintaan besar untuk barang-barang industri "Buatan Jerman".
Hal ini meningkatkan surplus perdagangan khas ekonomi Jerman, yang berarti bahwa negara tersebut mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Ekonomi yang tumbuh pesat menuntut produk-produk Jerman kelas atas dan pasokan perantara.
Model ekonomi ekspor produk manufaktur ini berhasil selama hampir dua dekade dan menjadikan Jerman sebagai mesin ekonomi zona euro dan jangkar mata uang tunggal. Negara-negara anggota lainnya lebih terdampak oleh kemunduran, seperti krisis keuangan global tahun 2008.
Akhir dari Energi Murah
Namun, di balik permukaan ada beberapa perkembangan yang merusak model ekonomi Jerman. Pukulan pertama datang dengan invasi Rusia ke Ukraina.
Jerman menjadi terlalu bergantung pada impor minyak dan gas Rusia, dan pada tahun 2022 harga energi melonjak. Lebih jauh lagi, pembangkit listrik tenaga nuklir terakhir di Jerman ditutup pada tahun 2023, membatasi pilihan yang tersedia sebagai alternatif bahan bakar Rusia.
Akhir dari Hubungan Dagang
Lonjakan harga membuat industri Jerman sulit untuk tetap kompetitif, terutama untuk kegiatan yang membutuhkan banyak energi. Terjadi penurunan produksi sebesar 20% di sektor-sektor yang padat energi pada tahun 2023. Krisis energi memperburuk penurunan yang nyata yang telah dimulai dalam produksi industri pada akhir tahun 2017.
Model ekonomi Jerman memiliki ketergantungan lain yang menjadi titik lemahnya adalah ketergantungannya pada ekspor, khususnya ke China. Meskipun Jerman sangat diuntungkan dari ekspor ke ekonomi terbesar di Asia dan outsourcing ke ekonomi padat karya, Bina Sedang naik daun dalam hal kualitas dan menjadi pesaing yang tangguh.
Dan ada juga tanda-tanda bahwa pertumbuhan China yang kuat pada tahun-tahun sebelumnya mulai melambat, yang membebani permintaannya terhadap impor Jerman.
Jerman juga memiliki surplus perdagangan yang penting dengan AS, yang mencapai rekor tertinggi sebesar 70 miliar euro (Rp 1.195 triliun) tahun lalu dan kini dapat terancam jika Presiden Donald Trump menerapkan tarif yang diancamnya. Dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan Eropa, kekuatan industri Jerman yang sebelumnya sangat didambakan akan menjadi titik lemah.
Sekitar seperempat dari surplus ini, yang mencapai titik tertinggi baru pada tahun 2024, berasal dari produk otomotif, sementara dalam kasus barang digital, Jerman mengalami defisit.
Next>>> Hal 2>>>> Masa Keruntuhan & Dapatkah Diperbaiki?
Pages