Mesin Ekonomi Macet! Pabrik Asia 'Berdarah-darah' Dihantam Tarif Trump

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas pabrik di banyak negara Asia kembali mengalami kontraksi pada Juni 2025, disebabkan oleh ketidakpastian seputar kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) yang membuat permintaan global melemah.

Namun, di tengah tekanan tersebut, sejumlah sinyal pemulihan ringan mulai muncul dan memperbesar urgensi kesepakatan dagang dengan Washington, yang saat ini menjadi perhatian utama banyak negara kawasan.

Dalam survei-survei sektor swasta yang dirilis Selasa (1/7/2025), terlihat bahwa tekanan terhadap sektor manufaktur masih merata di sebagian besar Asia. Hanya beberapa negara, seperti Jepang dan India, yang menunjukkan indikasi pertumbuhan. Sebaliknya, negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Taiwan mencatat pelemahan lebih lanjut.

Di Jepang, indeks manajer pembelian (PMI) versi final au Jibun Bank naik ke angka 50,1 pada Juni dari 49,4 di Mei, menandakan ekspansi. Ini merupakan ekspansi pertama dalam 13 bulan terakhir, meski masih dibayangi lemahnya permintaan global akibat ketidakpastian kebijakan tarif AS.

Sementara itu di Korea Selatan, PMI turun ke 48,7, menandai kontraksi selama lima bulan berturut-turut. Namun, tingkat penurunannya menurun, seiring meredanya ketidakpastian setelah pemilihan presiden mendadak pada 3 Juni.

"Volatilitas dalam kebijakan tarif AS dan ketidakpastian pemulihan ekonomi global diperkirakan akan terus berlanjut di paruh kedua tahun ini," ujar Menteri Perindustrian dan Perdagangan Korea Selatan Ahn Duk-geun.

Ia menegaskan bahwa Seoul tengah berupaya keras mencapai kesepakatan dagang dengan Washington demi menghindari dampak tarif yang lebih tinggi.

Sinyal positif muncul dari China, di mana PMI Caixin/S&P Global naik menjadi 50,4 pada Juni dari 48,3 di bulan sebelumnya, menunjukkan ekspansi moderat yang mengejutkan para analis.

Ekonom Wang Zhe dari Caixin Insight Group mengatakan sudah mulain ada tanda pemulihan. "Secara keseluruhan, pasokan dan permintaan manufaktur pulih pada Juni," katanya, dilansir Reuters, Selasa (1/7/2025).

Namun, ia juga mengingatkan lingkungan eksternal tetap parah dan kompleks dengan ketidakpastian yang meningkat. "Masalah permintaan domestik yang tidak memadai belum sepenuhnya teratasi."

Meski survei swasta menunjukkan kenaikan, data resmi pemerintah China sebelumnya justru mencatat kontraksi manufaktur selama tiga bulan berturut-turut, menggarisbawahi ketidaksepahaman antara pelaku usaha dan pemerintah dalam melihat situasi lapangan.

Di Asia Tenggara, tren yang lebih muram masih dominan. PMI Indonesia anjlok ke 46,9 dari 47,4 di Mei. Vietnam mencatat PMI 48,9 dari 49,8. Taiwan turun menjadi 47,2 dari 48,6. Malaysia sedikit membaik dari 48,8 menjadi 49,3, namun masih berada di bawah level ekspansi.

Di antara negara-negara Asia, India mencatatkan kinerja paling gemilang. Aktivitas manufakturnya tumbuh ke level tertinggi dalam 14 bulan, dengan PMI naik menjadi 58,4 dari 57,6 pada Mei. Pertumbuhan ini didorong oleh lonjakan penjualan internasional yang juga memicu rekor perekrutan tenaga kerja.

Data ini menunjukkan India menjadi outlier positif di tengah stagnasi kawasan.

Pelemahan sektor manufaktur Asia terjadi di saat yang krusial. Presiden AS Donald Trump terus mendorong pengenaan tarif besar-besaran terhadap negara-negara mitra dagangnya. Para negosiator dari lebih dari selusin negara kini berlomba mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Trump sebelum tenggat 9 Juli, ketika masa penangguhan tarif impor akan berakhir.

Tarif ini menjadi ganjalan besar bagi negara-negara eksportir Asia, yang sangat bergantung pada pasar AS, terutama untuk produk otomotif, elektronik, dan barang konsumsi lainnya.

Hingga kini, negosiasi antara China dan AS masih berlangsung untuk mencapai kesepakatan perdagangan menyeluruh. Namun, Jepang dan Korea Selatan disebut masih gagal mendapatkan konsesi terkait barang-barang andalan mereka seperti mobil dan komponen elektronik.

Menghadapi situasi ini, para pembuat kebijakan di Asia diperkirakan akan lebih fokus pada pemulihan ekonomi ketimbang kekhawatiran terhadap inflasi.

"Dengan kekhawatiran terhadap pertumbuhan yang kini lebih dominan dibanding inflasi, kami memperkirakan sebagian besar bank sentral di kawasan akan terus melonggarkan kebijakan moneter-bahkan lebih banyak dari perkiraan sebagian besar analis," kata Shivaan Tandon, ekonom pasar dari Capital Economics.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Ekonom RI Sebut Trump Lagi Caper, Gak Usah Direspons Cuekin Saja

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|