Jakarta, CNBC Indonesia - Laju pertumbuhan manusia saat ini memunculkan ancaman bagi kelangsungan hidup di Bumi. Para ilmuwan bahkan memprediksi bahwa 'kiamat' bisa terjadi lebih cepat, yakni pada 2026 mendatang.
Sebelumnya, ekonom dan ahli demografi, Thomas Malthus, menyatakan bahwa saat populasi manusia meningkat tanpa henti, jumlah tersebut tidak akan seimbang dengan suplai makanan yang tersedia. Namun, prediksi itu sempat dinilai keliru karena perkembangan teknologi mampu mendongkrak produksi pangan secara signifikan.
Meski begitu, kekhawatiran soal kiamat akibat ledakan populasi kembali mencuat di era modern. Terbaru, fisikawan Heinz von Foerster dari University of Illinois memperingatkan bahwa tahun depan bisa menjadi titik akhir bagi umat manusia.
Peringatan ini didasarkan pada teori yang ia ajukan tahun 1960. Von Foerster menghitung laju pertumbuhan populasi manusia dan menyimpulkan bahwa dalam pola pertumbuhan yang tidak terkendali, Bumi akan mencapai batas kapasitas maksimalnya pada tahun 2026.
Dalam perhitungannya, Foerster mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari potensi bencana besar seperti perang nuklir, pembentukan masyarakat dunia yang kooperatif, hingga pengembangan metode teknis untuk menghasilkan pasokan makan tanpa batas.
Foerster juga menanggapi optimisme soal teknologi pangan. Menurutnya, percepatan inovasi tetap tidak mampu mengimbangi kecepatan kelahiran manusia yang terus melonjak.
Sebagai langkah pencegahan, ia menyarankan agar pemerintah di seluruh dunia melakukan intervensi untuk mengendalikan pertumbuhan populasi. Misalnya dengan mengeluarkan kebijakan pajak lebih tinggi untuk keluarga dengan jumlah anak lebih dari dua.
PBB warning Asia
Masalah "kiamat" perubahan iklim yang makin ekstrem mendapat perhatian serius dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka memperingatkan sejumlah negara besarnya ancaman masalah itu bila tak segera ditanggulangi.
Peringatan itu termasuk ditujukan kepada Indonesia dan sejumlah negara Asia. Mereka menyoroti laju percepatan indikator perubahan iklim utama seperti suhu permukaan, pencairan gletser, dan kenaikan permukaan air laut.
Sorotan terhadap makin ekstrem nya perubahan iklim itu tertuang dalam laporan lembaga sayap PBB, Badan Meteorologi Dunia atau WMO yang bertajuk State of the Climate in Asia 2023. Laporan itu menganalisa bencana yang terjadi pada 2023.
WMO menilai Asia masih menjadi wilayah yang paling banyak dilanda masalah alam di dunia akibat cuaca dan iklim. Benua ini mengalami pemanasan lebih cepat dari rata-rata global dengan tren meningkat hampir dua kali lipat sejak periode 1961-1990.
"Kesimpulan dari laporan ini sangat menyadarkan kita," kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo dalam keterangan yang diterima CNBC Indonesia, dikutip Rabu (2/4/2025).
Menurut WMO, banyak negara di Asia mengalami tahun terpanas yang pernah tercatat pada 2023, bersamaan dengan kondisi ekstrem, mulai dari kekeringan dan gelombang panas hingga banjir dan badai.
Perubahan frekuensi iklim dan tingkat keparahan peristiwa tersebut, berdampak besar pada masyarakat, ekonomi, dan yang terpenting, kehidupan manusia dan lingkungan tempat makhluk hidup tinggal.
Pada 2023, total 79 bencana yang terkait dengan bahaya hidrometeorologi dilaporkan di Asia, sebagaimana dilaporkan pula oleh Emergency Events Database. Dari jumlah tersebut, lebih dari 80% terkait dengan peristiwa banjir dan badai, dengan lebih dari 2.000 korban jiwa dan sembilan juta orang terkena dampak langsung.
Panas ekstrem juga menjadi laporan lain. Meskipun risiko kesehatan yang ditimbulkan semakin meningkat, penduduk Asia masih beruntung karena tidak ada kematian yang dilaporkan.
"Sekali lagi, di tahun 2023, negara-negara yang rentan terkena dampak yang tidak proporsional. Sebagai contoh, topan tropis Mocha, topan terkuat di Teluk Benggala dalam satu dekade terakhir, menghantam Bangladesh dan Myanmar," jelas Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik (ESCAP), Armida Salsiah Alisjahbana yang menjadi mitra dalam penyusunan laporan ini.
"Peringatan dini dan kesiapsiagaan yang lebih baik telah menyelamatkan ribuan nyawa," ujarnya.
Sementara itu, dalam laporan yang sama juga dimuat bagaimana kenaikan permukaan laut dari Januari 1993 hingga Mei 2023. State of the Climate in Asia 2023 juga memberikan data indikasi kenaikan air laut yang meliputi wilayah Indonesia.
Tercatat, banyak area mengindikasikan Global Mean Sea Level (GMSL) di atas rata-rata global yakni 3,4 atau ± 0,33 mm per tahun. Indonesia sendiri berada di wilayah berwarna kuning yang mengindikasikan peringatan.
Sebelumnya, kajian proyeksi USAID di 2016 menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050. Ini berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya.
(dem/dem)
Saksikan video di bawah ini:
Tarif Trump Makan Korban Baru: 800 Pekerja Volvo di AS Bakal PHK
Next Article Di Atas Gunung Muncul Tanda Kiamat, Pertama dalam 4.000 Tahun