Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan Indonesia kian tergerus. Hingga April 2025, nilai surplusnya tersisa US$ 150 juta, seiring dengan kinerja ekspor yang tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, dan impor US$ 20,59 miliar.
Nilai surplus itu merosot dibanding angka per Maret 2025 yang masih mampu mencapai US$ 4,33 miliar. Total penurunan neraca ekspor impor itu mencapai 96,53%. Bahkn, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan itu menjadi yang terendah dalam 60 bulan atau 5 tahun terakhir, tepatnya sejak Mei 2020.
Sejumlah ekonom mewanti-wanti besarnya efek negatif kembali melemahnya neraca perdagangan Indonesia terhadap seluruh aspek perekonomian. Di antaranya ialah potensi makin rentannya nilai tukar rupiah.
"Ya tentu ketika surplus neraca perdagangan kita akan semakin tipis, devisa kita makin tergerus, lalu bisa berdampak ke stabilitas rupiah, panjang itu runtutannya," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (4/6/2025).
Kinerja ekspor-impor menjadi salah satu sumber penyumbang devisa ke dalam negeri. Bila hasil ekspor berlimpah tentu serapan dolar maupun mata uang asing lainnya terakumulasi terhadap penebalan cadangan devisa. Namun, bila impor yang makin mendominasi, tentu uang keluar menjadi makin deras karena pembayarannya menggunakan mata uang utama dunia, yakni dollar.
Karenanya, Telisa menekankan, bila neraca perdagangan terus memburuk, efeknya langsung ke neraca pembayaran. Bila neraca pembayaran Indonesia terus tertekan dengan ditandai nilai defisit yang kian melebar, akan memberikan sentimen makin buruk terhadap pelaku ekonomi dan pasar keuangan dunia.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan catatan Bank Indonesia, neraca pembayaran Indonesia pada kuartal I-2025 ini pun telah mengalami defisit US$ 0,8 miliar dengan posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2025 US$ 157,1 miliar.
"Itu bisa menimbulkan preseden buruk bagi perekonomian kita, membuat perekonomian kita makin lambat lagi. Jadi ini benar-benar impor harus kita jaga supaya tidak melonjak baik ilegal maupun yang legal," kata Telisa.
"Karena khawatirnya saat pasar AS sedang susah banyak impor-impor produk China semakin membanjiri Indonesia dan itu bisa melemahkan industri kita padahal target kita kan industrialisasi," tegasnya.
Besar bidang Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi juga menekankan, jika dibiarkan tanpa kebijakan penyeimbang, tekanan impor yang makin besar ini bukan hanya membuat Indonesia menghadapi ancaman penyempitan surplus perdagangan, tetapi juga ketergantungan struktural yang melemahkan kemandirian ekonomi.
Ia mencontohkan, barang-barang murah asal China dapat menggempur pasar domestik, menekan industri lokal, dan mempercepat deindustrialisasi, terutama di sektor padat karya. Ketika barang modal dan teknologi pun didominasi impor, maka kapasitas inovasi nasional akan tertinggal, menjadikan Indonesia pasar, bukan produsen.
"Pada saat yang sama, neraca transaksi berjalan bisa kembali defisit, memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan menambah beban fiskal serta moneter," tegas Syafruddin.
"Pemerintah perlu segera menyiapkan strategi perdagangan dan substitusi impor yang berpihak pada industri nasional agar ketergantungan ini tidak berubah menjadi jebakan struktural permanen," ungkapnya.
Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan kemarin pun terpantau masih terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Data Refinitiv menunjukkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Selasa (2/6/2025) ditutup pada posisi Rp16.280/US$ atau melemah 0,25%.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Data Ekonomi Baik, Tapi PHK dan Daya Beli Masih Jadi PR
Next Article Breaking News! Neraca Dagang RI Surplus US$ 2,24 M di Desember 2024