Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan kasus pagar laut di perairan Bekasi, Jawa Barat telah dituntaskan hingga denda administratif Rp2 miliar telah dibayarkan oleh pihak terlibat. / Istimewa
Harianjogja.com, JAKARTA – Kasus pagar laut di Desa Segarajaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sampai hari ini belum jelas kelanjutannya. Meski Bareskrim Polri telah menetapkan sembilan orang tersangka terkait dugaan pemalsuan sertifikat tanah di kawasan tersebut, hingga kini proses hukum dinilai belum menunjukkan perkembangan berarti.
Para tersangka yang terdiri dari mantan kepala desa, kepala desa aktif, perangkat desa, hingga petugas ukur dan operator komputer belum ditahan. Polisi beralasan para tersangka masih kooperatif, sementara berkas perkara masih dalam tahap koordinasi antara penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Agung.
BACA JUGA: Kasus Pagar Laut Bekasi Selesai dengan Denda Rp2 Miliar
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya kelanjutan perkara ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. “Jangan sampai kasus ini berhenti hanya di penetapan tersangka. Publik menunggu kepastian hukum yang tegas, apalagi menyangkut aset negara dan akses masyarakat nelayan,” kata Hardjuno di Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Menurutnya, aparat penegak hukum perlu memastikan konstruksi perkara yang jelas agar tidak menimbulkan tafsir berbeda. Jika terdapat potensi kerugian negara, kasus ini sebaiknya diproses sebagai tindak pidana korupsi. “Kalau hanya diperlakukan sebatas pemalsuan dokumen, rasa keadilan masyarakat bisa terganggu. Karena pagar laut ini nyata-nyata menghambat akses publik,” ujarnya.
Belum Tegas
Hardjuno menjelaskan, konstruksi perkara saat ini masih mengerucut pada dua jalur: pemalsuan dokumen sertifikat dan potensi tindak pidana korupsi. Pemalsuan dokumen terlihat dari perubahan objek dan subjek pada sertifikat hak milik (SHM) yang kemudian diagunkan ke bank.
Sementara dugaan korupsi muncul karena praktik tersebut berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sekaligus merugikan masyarakat luas yang kehilangan akses laut. Namun, hingga kini belum ada kesepahaman antara penyidik dan jaksa terkait pasal yang paling tepat diterapkan.
“Perbedaan tafsir inilah yang membuat berkas perkara berulang kali bolak-balik. Tarik-menarik konstruksi hukum seperti ini justru bisa memperlambat penyelesaian kasus dan melemahkan pesan keadilan,” kata Hardjuno.
Secara normatif, kasus pagar laut Bekasi seharusnya dapat segera dilanjutkan ke tahap persidangan. “Berdasarkan KUHAP, peran penyidik dan jaksa memang berbeda, tetapi keduanya wajib berkoordinasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegas Hardjuno.
Dia menambahkan, apabila unsur pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP telah terpenuhi, maka berkas perkara dapat diproses sebagai tindak pidana umum. “Tetapi kalau ada penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara, Undang-Undang Tipikor harus diprioritaskan sebagai lex specialis,” ujarnya.
Hardjuno juga menekankan bahwa masyarakat berhak mendapatkan kepastian hukum. “Koordinasi intensif antara Polri dan Kejaksaan perlu segera dilakukan agar tidak timbul kesan kasus ini berlarut tanpa arah. Prinsipnya, keadilan tidak boleh tertunda, karena penundaan hanya akan memperburuk kepercayaan publik,” kata Hardjuno.
Dia mengingatkan kasus ini menyangkut tata kelola lahan pesisir yang strategis. “Ini bukan sekadar sengketa sertifikat. Kasus pagar laut Bekasi harus menjadi momentum membenahi tata kelola lahan pesisir agar lebih transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat kecil,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News