Pengusaha Tunjuk Hal Aneh di Impor Tekstil, Pabrik RI Kena Getahnya

1 month ago 16

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil dalam negeri beberapa waktu belakangan ini menghadapi tantangan besar, tetapi data statistik menunjukkan adanya pertumbuhan yang seolah-olah positif. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta pun menyebut adanya anomali dalam data impor, yang menyebabkan ketidaksesuaian antara kondisi di lapangan dengan laporan resmi.

Menurut Redma, salah satu penyebab anomali ini adalah tidak sinkronnya perhitungan konsumsi yang didasarkan pada nilai uang dengan volume yang dibelanjakan masyarakat.

"Dari sisi nilai ada penurunan. Tapi kalau dari sisi volume, saya nggak ngelihat ada penurunan. Karena yang dikonsumsi lebih besar adalah barang-barang import ilegal yang murah. Nah makanya, dari sisi konsumsi meskipun nilainya turun tekstil itu, tapi dari volume nggak turun. Ini yang menyebabkan industri kita nggak tumbuh," jelas Redma kepada CNBC Indonesia, Jumat (7/2/2025).

Redma menyoroti, banyak barang impor ilegal yang masuk ke pasar tanpa tercatat dalam data resmi. Hal ini menyebabkan surplus dalam neraca perdagangan yang memberikan kesan terjadinya pertumbuhan pada industri tekstil, padahal kondisi di lapangan justru sebaliknya.

"Barang impor ilegal ini masuk, dikonsumsi masyarakat, tetapi tidak tercatat dalam data impor. Akibatnya, dianggap sebagai produksi dari dalam negeri, padahal itu bukan barang lokal. Inilah yang menyebabkan anomali dalam data BPS," terangnya.

Kata Redma, meskipun data BPS menunjukkan ada pertumbuhan industri tekstil pada kuartal terakhir, kenyataannya industri lokal masih tertekan.

Dia menegaskan, penurunan industri tekstil masih terus berlangsung hingga sekarang. Selama impor ilegal masih marak dan perhitungan data belum diperbaiki, industri tekstil dalam negeri akan tetap kesulitan untuk tumbuh.

"Kalau kita tidak jeli menganalisisnya, akan muncul banyak pertanyaan. Kok datanya tumbuh, tapi industri di lapangan malah terpuruk?" katanya.

Pengusaha tekstil berharap pemerintah lebih ketat mengawasi impor ilegal dan menyusun data dengan metode yang lebih akurat agar kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan.

Picu Deindustrialisasi

Sebelumnya, Redma pernah mengungkapkan, barang impor ilegal terus membanjiri pasar domestik hingga memicu deindustrialisasi dalam 10 tahun terakhir. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri terus mengalami penurunan pertumbuhan.

Redma memaparkan data yang dikutip dari ITC dan TradeMap.

Dari data tersebut, kata dia, nilai ekspor TPT China ke Indonesia sepanjang tahun 2019-2023, memiliki gap sampai miliaran dolar AS dibandingkan data impor TPT Indonesia dari China. Data tersebut adalah untuk TPT nomor HS 50-63.

"Dalam 5 tahun terakhir masuk sekitar 72.250 kontainer impor TPT ilegal. Kerugian pendapatan negara sekitar Rp46 triliun," katanya dalam keterangan resmi, Kamis (28/11/2024).

Mengutip data yang diungkapkan Redma, tercatat berturut-turut nilai ekspor TPT China ke Indonesia pada tahun 2019-2023 adalah US$5,09 miliar, US$3,79 miliar, US$5,86 miliar, US$6,50 miliar, dan US$5,28 miliar.

Tercatat, ada gap berturut-turut sebesar US$1,12 miliar, US$706,1 juta, US$1,79 miliar, US$2,12 miliar, dan US$1,47 miliar dari nilai impor TPT Indonesia dari China.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Tok! Trump Teken Aturan Kenaikan Tarif Impor Tinggi

Next Article Keras! Kemenperin Beberkan Dosa Permendag No 8/2024 ke Manufaktur RI

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|