Perhatian! Emas Jadi Tanda Baru Resesi Segera Hantam AS

10 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Emas digadang-gadang menjadi pertanda buruk bagi perekonomian Amerika Serikat (AS). Hal ini didasari oleh sifatnya yang berlawanan dengan dolar AS.

Mengutip Financial Times, terjadi lonjakan impor emas AS yang sangat besar, karena para pedagang juga berusaha untuk mengantisipasi potensi tarif. Meskipun motivasinya adalah menghindari tarif, dampak ekonomi dari pergerakan emas dan barang-barang lainnya sangat berbeda, pasalnya, emas cenderung tidak aktif dan tidak diolah kembali di brankas. Hal ini pada akhirnya berdampak pada pelebaran defisit perdagangan AS.

"Kami mencatat bahwa sebagian besar pelebaran defisit perdagangan sejak November mencerminkan impor emas yang lebih tinggi, yang dikecualikan dari PDB karena tidak dikonsumsi atau digunakan dalam produksi " kata ekonom di Goldman Sachs, David Mericle, dikutip Rabu (12/3/2025).

"Rincian laporan neraca perdagangan memang menunjukkan bahwa impor emas yang tinggi berkontribusi terhadap sebagian besar peningkatan impor pada bulan Januari."

Arus emas yang masuk ke Negeri Paman Sam dibuktikan oleh data perdagangan AS dengan Swiss, yang merupakan pusat penyulingan dan transit emas batangan terbesar di dunia. Tercatat, defisit perdagangan AS dengan Swiss meledak menjadi US$ 22 miliar (Rp 361 triliun) pada bulan Januari, hampir sebesar defisit perdagangan AS dan China.

Tren serupa juga terjadi dengan Australia. Lonjakan ekspor emas Australia membantu mendorong neraca perdagangan antara Negeri Paman Sam dengan Negeri Kangguru ke wilayah negatif pada bulan Januari.

Emas Bunyikan Lonceng Resesi

Perkiraan PDB yang disesuaikan dengan emas dari Goldman Sachs untuk kuartal pertama lebih optimistis yaitu 1,3%. Tetapi pada hari Jumat, mereka memangkas perkiraan pertumbuhan 2025 dan menaikkan "kemungkinan resesi" menjadi 20%.

Goldman menjelaskan impor emas yang besar ini adalah langkah untuk menyesuaikan pengeluaran warga AS terhadap barang impor yang dikenai tarif. Jika tidak ada tarif, pihaknya memperkirakan inflasi inti Pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) tahun-ke-tahun akan turun dari 2,65% pada bulan Januari menjadi 2,1% pada bulan Desember 2025.

"Tarif yang lebih besar juga cenderung akan memukul PDB lebih keras melalui efek seperti pajak pada pendapatan yang dapat dibelanjakan dan belanja konsumen serta dampaknya pada kondisi keuangan dan ketidakpastian bagi bisnis," papar Goldman.

"Sementara asumsi tarif kami sebelumnya menyiratkan puncaknya pada pertumbuhan PDB tahun-ke-tahun sebesar -0,3 poin persentase, asumsi baru kami menyiratkan puncaknya sebesar -0,8 poin persentase. Dalam skenario risiko, ini akan tumbuh menjadi -1,3 poin."

Goldman telah menaikkan potensi resesoo dengan jumlah terbatas pada saat ini karena masih melihat adanya opsi perubahan kebijakan sebagai risiko utama. Menurutnya, Gedung Putih memiliki opsi untuk menarik kembali aturan tarif jika risiko penurunan mulai terlihat lebih serius.

"Jika kebijakan mengarah ke arah skenario risiko kami atau jika Gedung Putih tetap berkomitmen pada kebijakannya bahkan dalam menghadapi data yang jauh lebih buruk, risiko resesi akan meningkat lebih jauh," tambahnya.


(sef/sef)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Siaga Dunia! Risiko 'Trumpcession' Meningkat

Next Article Video: Kronologi Investree Pailit Hingga Harga Emas Cetak Rekor Baru

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|