Pewarna Alam di Songket Melayu Angkat Nilai Budaya dan Lingkungan, Bukan Cuma Cantik!

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Sekretaris Jenderal Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami), Suroso, menyampaikan bahwa produk wastra berbasis pewarna alam mulai memiliki pasar tersendiri di Indonesia. Meski masih tergolong niche market, Suroso menilai potensi pengembangannya cukup besar seiring meningkatnya tren global terhadap eco fashion dan sustainable fashion.

"Pasarnya sebenarnya sudah terbentuk. Tantangannya sekarang adalah bagaimana para perajin, terutama pembuat tenun songket, bisa beralih dari pewarna sintetis ke pewarna alam," kata Suroso saat diwawancara di acara pembinaan wastra warna alam Bakti BCA di Medan, Rabu (5/11/2025).

Setidaknya 32 penenun songket Melayu Sumatra Utara mengikuti pembinaan di Istana Maimoon, Medan, dari 4 hingga 6 November 2025. Pembinaan ini digagas Bakti BCA bersama Warlami.

Menurut Suroso, jika mendapat pelatihan yang tepat maka proses pewarnaan alami akan dapat dikuasai oleh para penenun. Namun, keputusan untuk benar-benar beralih pada pewarnaan alam sangat bergantung pada kemampuan memasarkan produk.

"Kalau memasarkan tenun warna alam, itu butuh kemampuan bercerita. Karena tanpa bercerita, produknya akan tampak sama dengan tenun sintetis. Karena di balik warna alam itu ada nilai budaya, lingkungan, dan proses yang lebih berkelanjutan," kata dia.

Suroso menjelaskan, konsumen dalam negeri masih belum banyak yang memahami atau peduli terhadap nilai keberlanjutan produk wastra. Oleh karena itu, Warlami bersama sejumlah mitra terus berupaya meningkatkan kesadaran pasar melalui berbagai kegiatan edukasi dan kolaborasi.

"Kami ingin memperbesar awareness. Kami ikut berbagai program, bicara tentang warna alam ke banyak pihak. Kalau makin banyak yang mengenal, otomatis pasar juga akan tumbuh," kata Suroso.

la mengatakan langkah-langkah kecil seperti pelatihan ini sangat penting untuk menumbuhkan minat penenun agar mau beralih ke pewarna alam. "Biasanya mereka mulai bertahap. Setelah melihat nilai jual produk warna alam lebih baik, baru mereka makin semangat untuk beralih," kata dia.

Meski prospeknya menjanjikan, Suroso mengakui bahwa membawa warna alam ke level industri tekstil nasional tidak mudah. la menilai perlu dukungan kuat dari pemerintah dan para pemangku kepentingan.

"Kalau kebutuhan pewarna alam meningkat, harus ada yang menggerakkan budidaya tanamannya. Tapi kalau tidak ada dukungan dari regulasi atau pihak yang kuat, ya kami ngos-ngosan juga," ungkap dia.

Suroso menyoroti rantai pasok bahan baku masih menjadi hambatan besar dalam pengembangan industri pewarna alam. Menurutnya, pewarna alam hanya dapat diserap oleh serat alam seperti katun. Namun, hampir seluruh kebutuhan katun di Indonesia masih bergantung pada impor.

"Ini perlu gerakan politik dan ekonomi yang besar. Kita enggak bisa jalan sendiri," ujarnya.

Untuk saat ini, Warlami masih fokus pada pengembangan sektor wastra tradisional ketimbang industri tekstil besar. Menurutnya, skala industri memerlukan kapasitas produksi yang jauh lebih besar.

"Kami ini kan UMKM. Level kami masih di CSR, belum sampai skala industri besar yang bisa menggerakkan rantai pasok luas. Kalau industri minta dua ton pewarna indigo per hari, itu berarti harus ada lahan besar di Sumatra atau Kalimantan untuk budidaya tanaman indigo. Itu belum bisa kami penuhi," kata dia.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|