Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Prancis menuding China melancarkan kampanye disinformasi terorganisir untuk merusak reputasi jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, terutama setelah pesawat itu digunakan dalam bentrokan udara antara India dan Pakistan pada Mei lalu.
Informasi ini berasal dari temuan badan intelijen Prancis yang telah dibagikan oleh seorang pejabat militer Prancis dengan syarat identitasnya dirahasiakan dan dikutip The Associated Press (AP).
Menurut laporan tersebut, diplomat pertahanan China yang ditempatkan di sejumlah kedutaan besar aktif menyebarkan narasi negatif tentang performa Rafale dalam pertemuan dengan para pejabat keamanan dari negara-negara calon pembeli, termasuk Indonesia.
Mereka mendorong agar negara-negara tersebut membatalkan atau mengurangi pembelian jet tempur Prancis dan beralih ke produk militer buatan China.
Targetkan Indonesia
Salah satu sasaran utama kampanye ini adalah Indonesia, yang telah memesan 42 unit Rafale dan tengah mempertimbangkan pembelian tambahan. Menurut laporan intelijen, para diplomat China mendesak pejabat-pejabat negara mitra agar tidak mempercayai keandalan Rafale berdasarkan apa yang mereka klaim sebagai kinerja buruk dalam konflik India-Pakistan.
"Para atase pertahanan China secara aktif menyebarkan klaim bahwa Rafale milik India berkinerja buruk dalam bentrokan dengan Pakistan," ungkap laporan itu, dikutip Senin (7/7/2025).
Pertempuran udara selama empat hari pada Mei lalu antara India dan Pakistan disebut sebagai konfrontasi paling serius dalam beberapa tahun terakhir antara dua negara bersenjata nuklir tersebut. Dalam peristiwa itu, berbagai jenis jet tempur digunakan, termasuk Rafale milik India dan jet-jet buatan China yang digunakan Pakistan.
Pakistan mengeklaim telah menembak jatuh lima jet tempur India, termasuk tiga Rafale. India sendiri mengakui mengalami kehilangan pesawat, tetapi tidak menyebutkan jumlahnya.
Kepala Angkatan Udara Prancis, Jenderal Jerome Bellanger, menyatakan hanya ada tiga jet India yang jatuh: satu Rafale, satu Sukhoi buatan Rusia, dan satu Mirage 2000 generasi lama buatan Prancis. Ini adalah pertama kalinya Rafale tercatat mengalami kerugian dalam pertempuran.
"Tentu saja, semua negara yang telah membeli Rafale mempertanyakan hal itu," ujar Bellanger.
Disinformasi dan Gambar Manipulatif
Pejabat militer Prancis mengungkapkan bahwa serangan terhadap reputasi Rafale tidak hanya terjadi di ruang diplomatik, tetapi juga di dunia maya.
Mereka menyebut lebih dari 1.000 akun media sosial baru bermunculan saat konflik terjadi dan menyebarkan narasi keunggulan teknologi buatan China.
Konten-konten tersebut mencakup gambar reruntuhan yang dimanipulasi, video yang dibuat dengan kecerdasan buatan (AI), hingga cuplikan dari permainan video yang disajikan seolah-olah sebagai dokumentasi nyata pertempuran udara.
Meski belum ada bukti langsung yang mengaitkan aktivitas ini dengan pemerintah pusat di Beijing, badan intelijen Prancis mencatat kesamaan narasi antara konten daring tersebut dan pesan-pesan yang disampaikan para diplomat China secara langsung ke negara-negara calon pembeli.
China Membantah
Kementerian Pertahanan China membantah tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai "fitnah tanpa dasar."
Dalam pernyataan kepada AP, Beijing menyatakan, "China secara konsisten menjaga pendekatan yang hati-hati dan bertanggung jawab dalam ekspor militer dan memainkan peran konstruktif bagi perdamaian dan stabilitas global."
Namun Kementerian Pertahanan Prancis menanggapi dengan keras, menyebut Rafale sebagai simbol "kemandirian strategis Prancis" dan menilai bahwa serangan terhadap reputasinya adalah bagian dari upaya merusak kepercayaan terhadap industri pertahanan nasional.
"Rafale bukan target sembarangan. Ini adalah jet tempur berkinerja tinggi yang telah diekspor secara luas dan digunakan di zona konflik dengan visibilitas tinggi," tulis Kementerian Pertahanan Prancis di situs resminya.
"Dengan menyerang pesawat ini, para pelaku juga menyerang kredibilitas industri pertahanan dan teknologi Prancis."
Hingga kini, Prancis telah menjual 533 unit Rafale, dengan 323 di antaranya diekspor ke delapan negara: Mesir, India, Qatar, Yunani, Kroasia, Uni Emirat Arab, Serbia, dan Indonesia.
Analis pertahanan dari Royal United Services Institute di London, Justin Bronk, menyebut bahwa China mungkin melihat insiden ini sebagai peluang strategis untuk melemahkan pengaruh negara-negara Barat di kawasan Indo-Pasifik.
"Jika dikaitkan dengan kinerja sistem senjata Pakistan - atau setidaknya klaim kinerjanya - maka hal itu bisa digunakan untuk melemahkan daya tarik Rafale sebagai produk ekspor," ujar Bronk.
"China tampaknya melihat ini sebagai peluang untuk merusak prospek penjualan Prancis di kawasan."
Bagi Paris, reputasi Rafale bukan hanya soal penjualan pesawat, tapi juga bagian dari upaya geopolitik untuk membangun kemitraan yang kuat di Asia, kawasan yang kini menjadi arena persaingan pengaruh antara kekuatan lama dan kekuatan baru seperti China.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kapal Induk Nuklir Negara NATO Merapat ke Tetangga RI, Siaga Perang?