Refleksi Ekonomi Akhir Tahun: Konsumsi Naik, Daya Beli Masih Timpang

2 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pengujung tahun 2025, ekonomi nasional terus digenjot, terutama melalui dorongan konsumsi atau daya beli masyarakat. Meski daya beli masyarakat menuju akhir 2025 terlihat hidup di tengah beragam program stimulus pemerintah, para ekonom mengkritisi kondisi daya beli sesungguhnya tidak merata.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, terdapat dua hal yang perlu disorot dari kondisi daya beli masyarakat menjelang akhir tahun yang kerap dianggap klise, yakni apakah benar-benar menguat atau hanya tampak ramai karena diskon dan euforia liburan.

“Masalahnya ada dua lapis. Lapis pertama adalah rata-rata daya beli nasional yang terlihat masih bergerak. Lapis kedua adalah ketimpangan pengalaman belanja: bagi sebagian rumah tangga, belanja akhir tahun terasa normal, tetapi bagi banyak keluarga menengah bawah, yang terasa justru pilihan yang makin sempit, antara membayar kebutuhan pokok atau memenuhi kebutuhan sekolah dan kesehatan,” kata Achmad dalam keterangannya yang diterima Republika, Jumat (26/12/2025).

Achmad menekankan, daya beli bukan sekadar soal harga turun atau diskon besar, melainkan tentang napas penghasilan yang sanggup mengejar biaya hidup sehari-hari.

“Daya beli akhir tahun terlihat hidup, tetapi tidak merata,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, jika menggunakan kacamata ekonomi makro, tanda-tandanya tidaklah suram. Data menunjukkan masih terjaganya sejumlah indikator ekonomi, seperti inflasi dan indeks keyakinan konsumen (IKK).

Inflasi nasional November 2025 tercatat sebesar 2,72 persen secara tahunan (year on year/yoy), masih berada dalam koridor target Bank Indonesia (BI). Adapun IKK pada November 2025 tercatat berada pada level optimistis, yakni 124, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya.

Survei penjualan eceran BI juga menunjukkan ekspektasi kinerja penjualan eceran yang meningkat pada November 2025. Hal itu tecermin dari indeks penjualan riil (IPR) sebesar 221,1 atau tumbuh 5,9 persen secara tahunan (yoy), seiring pola musiman menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru).

“Namun, jika kita bandingkan dengan tahun lalu, ada nuansa penting. November 2024 inflasi tercatat sebesar 1,55 persen (yoy). Artinya, tahun ini tekanan harga lebih tinggi dibandingkan tahun lalu,” ujarnya.

Menurut Achmad, selisih tersebut bukan sekadar angka. Bagi rumah tangga yang sebagian besar belanjanya dialokasikan untuk makanan, transportasi, dan biaya pendidikan, kenaikan kecil sekalipun terasa seperti mengencangkan ikat pinggang satu lubang lagi.

Ia berpandangan, terdapat tiga penekan utama daya beli masyarakat yang kerap muncul di lapangan. Pertama, tekanan biaya hidup yang paling cepat terasa biasanya datang dari kelompok pangan dan kebutuhan harian. Ketika harga pangan bergejolak, rumah tangga menengah bawah tidak memiliki ruang bantalan karena proporsi belanja pangannya besar.

Kedua, faktor nilai tukar dan biaya impor. Rupiah yang melemah sepanjang 2025 menambah risiko inflasi impor pada komoditas tertentu dan bahan baku, yang kemudian merembet ke harga barang jadi. BI sendiri menekankan fokus stabilisasi rupiah dan pada Desember 2025 kembali menahan suku bunga acuannya. Dalam bahasa sederhana, ketika nilai tukar rentan, menjaga harga tetap jinak menjadi pekerjaan yang lebih melelahkan.

Ketiga, kualitas pertumbuhan pendapatan. Daya beli hanya dapat bertahan jika pendapatan riil naik, bukan sekadar nominal. Data upah rata-rata buruh Februari 2025 sekitar Rp 3,09 juta per bulan memberi gambaran kapasitas belanja pekerja formal, sekaligus mengingatkan bahwa banyak pekerja berada di bawah rata-rata tersebut. Apalagi, porsi pekerja informal masih besar, sehingga gaji bulanan bukan pengalaman semua orang.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|