Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dan Vietnam punya banyak kesamaan. Keduanya berada di Asia Tenggara, memiliki iklim tropis, hingga sama-sama merdeka di tahun 1945. Namun, ada perbedaan mencolok antara kedua negara, yakni nasib ekonomi.
Ekonomi negara berpenduduk 100 juta itu melesat pada tahun lalu. Lebih baik dibanding Indonesia.
Badan Pusat Statistik Vietnam membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,09% pada 2024. Ini melebihi target 6,5% dari pemerintah, sehingga menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun diprediksi berada di kisaran 5%, sekalipun pemerintah belum merilis data ekonomi kuartal IV/2024.
Perolehan Vietnam tersebut jelas jadi pencapaian sangat positif yang sangat berbanding terbalik di dekade 1980-an. Kala itu, Vietnam tergolong negara sangat miskin imbas perang berkepanjangan. Sedangkan Indonesia pada tahun-tahun yang sama sudah merasakan kebebasan dan perbaikan.
Lantas, apa rahasia Vietnam bisa bangkit dan berulangkali mengalahkan Indonesia?
Reformasi Doi Moi
Pada 1986, di tengah tekanan ekonomi yang carut-marut, pemerintah Vietnam segera berbenah. Elite Vietnam kemudian memperkenalkan kebijakan Doi Moi atau dalam bahasa Indonesia disebut pembaharuan.
Peneliti Anja Baum dalam "Vietnam Development Success Story and the Unfinished SDG Agenda" (2020) menjelaskan, Doi Moi didefinisikan sebagai transisi ekonomi terpusat ke ekonomi pasar dengan menggabungkan insentif pasar bebas, tapi tidak melupakan fundamental Vietnam sebagai negara komunis-sosialis.
"Doi Moi membuka ekonomi terpusat yang dimulai dengan reformasi pertanian, membuka pasar bebas dan perdagangan internasional, serta memulai reformasi pro-bisnis," tulis Anja Baum.
Alasan pemerintah memulainya dari pertanian sebab 70% orang Vietnam berada di sektor tersebut. Toh, warga Vietnam juga menggantungkan hidup pada beras. Secara garis besar, pemerintah melakukannya lewat subsidi harga-harga terkait pertanian, memberikan tanah kepada para petani, dan membangun irigasi.
Lebih lanjut, peneliti Kosal Path dalam "The Origins and Evolution of Vietnam Doi Moi Policy of 1986" (2020) menyebutkan, setelah pertanian rampung, pemerintah melakukan liberalisasi perdagangan dan membuka pintu seluas-luasnya bagi investor asing dan pengusaha dalam negeri. Pemerintah komunis juga menjamin kepastian berusaha.
Selain itu, negara juga menghapus berbagai hambatan, serta pembebasan wisatawan asing. Lalu, dilakukan juga penguatan sektor fiskal dan makro (lewat devaluasi Dong Vietnam dan pengurangan defisit anggaran), penghapusan birokrasi berbelit, pengentasan kasus korupsi, hingga pengetatan stabilitas politik.
Angka Kemiskinan Vietnam Susut Pesat
Singkat cerita, tak sampai berpuluh-puluh tahun, Doi Moi perlahan langsung membuahkan hasil. Mengutip tulisan diplomat Hong Anh Tuan di Globe Asia, pada 1989, tiga tahun setelah Doi Moi, Vietnam tak lagi krisis beras. Negara bahkan sudah melakukan ekspor 1,4 juta ton beras. Bahkan, sejarah mencatat, setelahnya negara komunis ini jadi negara pengekspor beras terbesar di dunia selama bertahun-tahun.
Sejak itu pula, Vietnam berhasil mengurangi angka kemiskinan signifikan. Awalnya 70% menjadi 32% pada 2000-an. Lalu, bisnis swasta menggeliat, investasi asing masuk secara deras, APBN melonjak hingga pertumbuhan ekonomi tumbuh pesat.
Tentu buah manis dari reformasi tersebut dirasakan dalam 5-10 tahun belakangan ini. Negara miskin bernama Vietnam sukses bangkit menjadi 'raja' Asia Tenggara. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Vietnam sangat positif. Hanya tiga kali turun di 2020, 2021, dan 2023.
Ini tentu belum memasukkan berbagai angka-angka ekonomi lain yang juga sangat positif. Praktis, pencapaian ini melebihi sesama negara angkatan 1945 yang berada di selatan bernama Indonesia.
Meskipun, pada sisi lain, kunci sukses Vietnam, yakni Doi Moi, menghasilkan kapitalisme dan ketimpangan di kalangan penduduk. Alias, sudah bergeser jauh dari ekonomi komunis-sosialis yang jadi fundamental awal.
Bagaimana dengan RI?
Sayangnya, berbeda dengan Vietnam, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya sebesar 5,03%, lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada 2023 yang masih bisa melaju sebesar 5,05%. Padahal, mayoritas sumber pertumbuhan ekonomi pada 2024 lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Konsumsi rumah tangga misalnya, masih mampu tumbuh sebesar 4,94% secara kumulatif pada 2024, sedangkan pada 2023 hanya tumbuh 4,82%. Investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga masih mampu tumbuh 4,61% dari sebelumnya hanya tumbuh 4,4%.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, melambatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu lebih disebabkan menurunnya net ekspor ketimbang tahun lalu. Disebabkan tumbuh tingginya kinerja impor dibanding ekspor pada 2024.
"Satu komponen yang menahan laju pertumbuhan ekspor lebih tinggi adalah dari net ekspor," kata Amalia saat konferensi pers di kantor pusat BPS, Jakarta pada Rabu (5/2/2025).
Total net ekspor atas dasar harga konstan pada 2024 memang hanya sebesar Rp 513,7 triliun, lebih rendah dari catatan pada 2023 yang sebesar Rp 514,36 triliun. Kondisi itu dipicu pertumbuhan ekspor pada 2024 kalah dibanding impornya, berkebalikan dari kondisi pada 2023.
Pada tahun lalu, pertumbuhan ekspor sebesar 6,51% sedangkan impornya tumbuh kencang sebesar 7,95%. Sedangkan pada 2023, pertumbuhan ekspornya meski hanya sebesar 1,32% namun impornya terkontraksi atau minus hingga sebesar 1,65%.
"Karena positifnya (net ekspor) sedikit lebih kecil dibanding 2023 maka sumbangan ke pertumbuhan ekonominya terlihat negatif 0,01%, ini salah satu faktor yang agak menahan dari pertumbuhan lebih tinggi," ucap Amalia.
(mfa/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pertarungan RI & Vietnam hingga MCU Gratis Dimulai 10 Februari
Next Article Video: Vietnam Dihantam Topan Super Yagi, Badai Terkuat di Asia