Riset Ungkap Kehidupan Masyarakat Miskin Makin Rentan Akibat Perubahan Iklim

5 hours ago 1

Warga berjalan di atas jembatan kayu di perkampungan nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, Sabtu (31/7/2021). Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan wilayah Jakarta bagian Utara akan tenggelam akibat faktor perubahan iklim, eksploitasi air tanah hingga kenaikan permukaan laut karena pencairan lapisan es akibat pemanasan global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketidakpastian iklim semakin memperberat beban masyarakat miskin di Indonesia. Peneliti Senior Lembaga Penelitian SMERU Nila Warda mengatakan, perubahan iklim seperti “amplifier” yang memperdalam kerentanan yang sudah ada.

“Masyarakat miskin jauh lebih sensitif terhadap keterpaparan perubahan iklim karena tidak memiliki perlindungan seperti asuransi atau tabungan untuk memulihkan diri,” kata Nila dalam diskusi Kemiskinan di Tengah Krisis Iklim: Membangun Ketangguhan Masyarakat Miskin dan Rentan, Kamis (23/10/2025).

Menurutnya, kapasitas adaptasi masyarakat miskin juga lemah akibat keterbatasan ekonomi dan sosial. Berdasarkan studi SMERU yang didukung program Koneksi dari akhir 2023 hingga awal 2024, sekitar 12 persen masyarakat pedesaan yang bekerja di sektor primer, seperti pertanian, perkebunan, dan kelautan, hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebagai perbandingan, angka kemiskinan di sektor industri pengolahan pedesaan tercatat sekitar 10 persen, sementara di sektor jasa hanya 7 persen. “Lebih dari separuh masyarakat miskin bekerja di sektor primer yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Ketika cuaca tak menentu, penghidupan mereka langsung terganggu,” ujarnya.

Hasil penelitian SMERU menunjukkan bahwa tingkat kerentanan masyarakat miskin terhadap perubahan iklim lebih banyak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu sensitivitas dan kapasitas adaptasi, ketimbang keterpaparan terhadap risiko iklim itu sendiri.

Secara sosial ekonomi, kelompok miskin umumnya tidak memiliki pilihan tempat tinggal yang aman. “Karena miskin, pilihan tempat tinggal mereka terbatas. Banyak yang akhirnya bermukim di daerah rawan seperti bantaran sungai atau lereng pegunungan yang sulit air,” jelas Nila.

Ia mencontohkan petani di dataran tinggi yang sangat bergantung pada hujan karena tidak memiliki akses irigasi memadai, sehingga rentan gagal panen saat kemarau panjang atau fenomena El Niño. Kondisi serupa dialami nelayan kecil yang harus menanggung risiko gelombang ekstrem dan cuaca tak menentu.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|