REPUBLIKA.CO.ID, TAKENGON -- Desa Kala Segi berada di tepi Danau Laut Tawar, Takengon. Desa yang tenang, dikelilingi kebun kopi Gayo yang menjadi nadi kehidupan warganya. Sebagian besar penduduknya adalah petani kopi. Orang-orang yang terbiasa membaca musim, menakar hujan, dan menggantungkan hidup pada alam. Namun pada tanggal 27 November ketenangan itu runtuh seketika.
Tiga hari sebelumnya, hujan turun tanpa jeda. Siang dan malam. Langit Takengon seolah tak memberi ruang bagi tanah untuk bernapas. Hingga akhirnya, banjir besar dan longsor datang bersamaan. Air meluap, tanah runtuh, dan Desa Kala Segi lumpuh total.
Saya tiba di Kala Segi bersama tim Dompet Dhuafa pada sore hari. Akses menuju desa terputus. Rumah-rumah hancur, sebagian terseret lumpur, sebagian lagi tak lagi layak ditinggali. Sekitar 450 warga terpaksa mengungsi, meninggalkan kebun kopi, ternak, dan rumah yang selama ini menjadi pusat kehidupan mereka. Lumpur masih mengendap di sisa bangunan, batang kayu berserakan, dan jalan desa berubah menjadi jalur rusak yang sunyi dari aktivitas.
Listrik padam sejak sehari sebelum bencana besar itu terjadi, ketika hujan mulai sangat lebat. Hingga saya datang, aliran listrik belum juga kembali. Sudah sebulan warga bertahan di pengungsian tanpa penerangan.
Malam datang tanpa lampu, tanpa televisi, tanpa ponsel yang bisa diisi daya, tanpa sinyal komunikasi yang berarti. Tak ada perangkat elektronik yang bisa menghubungkan mereka dengan dunia luar. Mesin air tak berfungsi. Air bersih harus diambil secara manual, dengan tenaga dan waktu yang semakin terbatas.
Malam itu, suasana pengungsian terasa mencekam. Gelap menyelimuti desa yang biasanya hidup sejak subuh oleh aktivitas petani kopi. Satu-satunya cahaya datang dari lampu mobil Dompet Dhuafa yang dijadikan posko klinik darurat. Sorot lampu itu menerangi tanah becek, wajah-wajah lelah, dan antrean warga yang berdatangan.
Kaswandi, salah seorang warga Desa Kala Segi, menuturkan dengan suara datar. “Tidak ada listrik. Sebelum kejadian sudah mati. Sampai sekarang mati,” katanya. Kalimat singkat itu menyimpan cerita panjang tentang sebulan hidup tanpa cahaya. Tanpa kepastian kapan lampu bisa menyala. Kapan akses masuk dan keluar dari desa mereka kembali normal.
Di Kala Segi, bencana bukan sekadar banjir dan longsor. Ia adalah kisah tentang desa kopi di tepi Danau Laut Tawar yang harus bertahan dalam gelap, tentang warga yang kehilangan rumah dan rutinitas. Api unggun yang menerangi teras beberapa rumah menjadi saksi di tengah kegelapan panjang, harapan tetap dijaga bersama.

4 hours ago
2















































