
Oleh : Nasihin Masha, Wartawan Senior
REPUBLIKA.CO.ID, Saya pikir tak ada nama yang lebih kontroversial dalam penganugerahan gelar Pahlawan Nasional selain Soeharto. Walau Sukarno juga memiliki sisi plus-minus, tapi Sukarno adalah Bapak Bangsa. Bahkan bisa dikatakan, jika tidak ada Sukarno, mungkin kemerdekaan Indonesia tak terjadi pada 1945 – entah tahun berapa. Tokoh-tokoh lain yang hebat-hebat itu, tak sehebat Sukarno dalam hal ketokohan. Sedangkan Soeharto, walau punya banyak jasa, juga memiliki kekurangan yang sangat kentara dan begitu berat untuk dilupakan. Apa itu? Pembunuhan dan penahanan terhadap pengikut PKI, ada yang memperkirakan jumlah yang mati bisa lebih dari satu juta orang. Selain itu, juga penahanan, penculikan, dan pembunuhan terhadap yang melawannya. Dalam hal ini, paling banyak menimpa umat Islam. Selain itu, juga ada masalah Aceh dan Papua, serta Timor Timur.
Tahun ini, pemerintah telah mengumumkan bahwa Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sudah beberapa kali namanya diusulkan, namun di masa Prabowo Subianto lah usulan itu dipenuhi. Kebetulan, Prabowo adalah mantan (?) menantunya. Adapun sembilan pahlawan lainnya adalah KH Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Syaikhona KH M Kholil Bangkalan (Jawa Timur), Marsinah (Jawa Timur), Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat), Rahmah El Yunusiyah (Sumatera Barat), Sarwo Edhi Wibowo (Jawa Tengah), Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat), Tuan Rondahaim Saragih (Sumatera Utara), dan Zainal Abidin Syah (Maluku Utara). Setiap 10 November, di Hari Pahlawan, pemerintah selalu menetapkan 10 Pahlawan Nasional. Dari semua nama itu, hanya nama Soeharto yang mengalami penolakan. Dulu, Ide Anak Agung Gde Agung juga pernah mengalami penolakan, walau tak begitu terdengar.
Banyak sekali daftar dosa yang disuarakan oleh orang-orang yang menolak Soeharto menjadi Pahlawan Nasional. Selama 32 tahun masa berkuasanya, ia bercokol dengan otoritarianisme dan represi. Tak ada kebebasan pers, tak ada demokrasi, militerisme, dan korupsi. Namun saat ia ditumbangkan melalui gerakan reformasi pada 1998, semuanya diringkas dalam tiga kata: Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Namun sejatinya, segala keburukan penguasa bisa dimasukkan ke dalam keranjang Soeharto.
Sedangkan bagi pendukung penganugerahan Pahlawan Nasional bagi Soeharto, bisa diringkas ke dalam 10 alasan. Setidaknya hal itu disampaikan oleh Rachmat Gobel, anggota DPR RI dari Partai Nasdem. Pertama, Soeharto berperang melawan kolonialisme Belanda di masa revolusi. Peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret 1949 adalah puncak prestasinya di masa itu.
Kedua, Soeharto berhasil menyelamatkan Indonesia dari tragedi 1965, sekaligus mengembalikan Indonesia dari ambiguitas dalam masalah sistem politik dan ideologi Pancasila. Ketiga, Soeharto adalah Bapak Pembangunan. Melalui Trilogi Pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan ekonomi, ia berhasil membangun Indonesia di segala bidang dengan keseimbangan anggaran maupun prioritas sektor yang terjaga dengan baik.
Keempat, Soeharto berhasil membangun sektor pertanian dan pangan, sehingga bisa swasembada beras. Ia mencetak sawah, membuat irigasi, bendungan, dan waduk di mana-mana. Pupuk disubsidi, bibit dijamin, alsintan pun dibagikan. Pabrik pupuk didirikan. Kelima, Soeharto berhasil memberantas buta huruf dan membangun sektor pendidikan. SD Inpres didirikan di tiap desa, SMP di tiap kecamatan, SMA di tiap kabupaten. Universitas-universitas juga dibangun. Bahkan peneliti soal SD Inpres dapat hadiah Nobel Ekonomi.
Keenam, Soeharto berhasil melaksanakan program transmigrasi dengan sangat baik. Ini bukan sekadar memindahkan penduduk dan mengurangi kemiskinan, tapi juga membangun pusat-pusat pertumbuhan dan food estate. Kawasan transmigrasi adalah pemasok pangan di seluruh Indonesia. Ketujuh, Soeharto berhasil membangun kesehatan, yaitu dengan mendirikan Puskesmas di tiap kecamatan, Puskesmas Pembantu di wilayah remote, dan Posyandu di tiap RT.
Kedelapan, Soeharto berhasil mengendalikan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana dan slogan Dua Anak Cukup. Kesembilan, Soeharto berhasil menjadikan Pancasila dan UUD 1945 menjadi pandangan hidup dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Kesepuluh, Soeharto berhasil menerapkan prinsip meritokrasi dengan baik dalam rekrutmen pejabat negara. Menteri-menteri terbaik adalah menteri di masa Soeharto.
Apakah kebaikan-kebaikan tersebut patut ditransaksikan dengan kesalahan-kesalahannya? Tentu saja tidak, sebagaimana amal kebajikan tak bisa menghapus dosa manusia. Dosa bisa hilang jika ada pertobatan, secara vertikal maupun secara horizontal.
Penolak dan Pendukung
Jika kita ringkaskan, para penolak dan pendukung Soeharto menjadi pahlawan bisa dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok berikut ini. Kita mulai dengan yang menolak. Pertama, korban-korban Soeharto. Di sini ada beberapa, yaitu, dari garis PKI, Islam, dan Sukarnois. Kedua, korban-korban dari daerah operasi militer, yaitu Aceh dan Papua. Ketiga, pejuang prodemokrasi dan aktivis HAM. Sebetulnya masih ada beberapa kelompok lagi, namun mereka memilih tak bersuara, yaitu dari etnis China, khususnya dari garis Baperki, dan dari sebagian faksi Kristen/Katolik yang di akhir kekuasaan Soeharto mengalami tekanan. Dalam konteks ini, sebagian faksi NU juga memiliki rasa yang sama.
Lalu, siapa saja yang mendukung? Pertama, Golkar dan pecahan-pecahannya seperti Gerindra, Nasdem, dan Demokrat. Kedua, tentara. Ketiga, pihak-pihak yang memaafkan. Dalam konteks ini bisa dilihat pada sikap Muhammadiyah. Denny JA, pemilik lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia, dalam tulisannya memotret sikap masyarakat Indonesia terhadap para mantan presiden Indonesia. Siapa yang paling disukai? Ternyata Soeharto nomor satu (29 persen). Disusul Jokowi (26,6 persen), Sukarno (15,1 persen), dan Susilo Bambang Yudhoyono (14,2 persen). Sedangkan Gus Dur 5 persen, Habibie 5 persen, dan Megawati 1,2 persen, jauh di bawah. Tentu saja itu mengejutkan. Survei Kedai Kopi juga memperlihatkan mayoritas responden mendukung Soeharto menjadi pahlawan, yaitu 80,7 persen. Sedangkan yang menolak hanya 15,7 persen. Tentu saja, sekali lagi, argumen kuantitatif ini tak selalu bisa mengalahkan argumen kualitatif.
Sejarah Itu Bak Kue Lapis
Seorang kawan bertanya, bagaimana sikapmu terhadap usulan Soeharto menjadi pahlawan? Saya jawab, “Saya mendukung.” Kawan itu kaget. Saya lanjutkan, “Saya memilih memaafkan.” Rupanya percakapan pribadi itu kemudian diketahui kawan saya yang lain. Ia mengkonfirmasi. Saya jawab ya. Kali lain, saya bertanya ke kawan saya yang lain lagi, ia menjawab tidak mendukung. “Saya adalah korban Soeharto,” katanya. “Wah sama dong dengan saya,” tukas saya. Saya juga melempar wacana usulan Soeharto menjadi pahlawan di sebuah grup percakapan whatsapp yang terbatas dan di Fb. Umumnya menyoal tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Soeharto ataupun soal korupsinya. Ada seorang penulis menyebutkan bahwa pendukung usulan Soeharto menjadi pahlawan adalah poros yang mendapat kenikmatan dari Soeharto.
Nah, kisah percakapan ini sengaja saya sampaikan untuk menjadi semacam disclaimer: saya adalah bagian dari korban Soeharto dan tak pernah menjadi bagian dari Soeharto. Ayah saya petani, ibu saya pedagang -- bukan pejabat negara yang ikut menopang kekuasaan Soeharto. Ayah saya justru ikut menumpas DII/TII di Jawa Barat dengan menjadi pasukan Pagar Betis. Desa saya di masa Orde Baru 99 persen mencoblos PPP. Jika musim pemilu selalu ada penggerebekan, teror, dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh di desa saya, khususnya pada Pemilu 1977 dan 1982. Ayah saya termasuk yang menjadi target, sehingga harus bersembunyi di plafon rumah. Padahal ayah saya bukan politisi, bukan aktivis. Namun rumahnya selalu ramai orang-orang untuk nongkrong. Saat remaja, saya ikut dalam kegiatan PII dalam asuhan Abah Noor Zein. Selain di NU, saya juga aktif di Pelajar Al Washliyah, anggota istimewa Masyumi. Saat mahasiswa aktif di HMI MPO. PII dan HMI MPO ini menolak asas tunggal, bukan menolak Pancasila – yang setelah reformasi aturan asas tunggal ini dicabut dan posisi Pancasila dikembalikan sebagai dasar negara. Semua aktivitas itu, harus berurusan dengan tentara, pusat kekuasaan Soeharto. Gara-gara bikin peringatan hari besar Islam pun bisa ditangkap dan ditahan satu pekan. Jika rapat harus umpet-umpetan. Jika ketahuan akan dibubarkan.
Jadi, saya bukan Soehartois, bukan penopang kekuasaan Soeharto, dan bukan axis Soeharto. Lalu mengapa mendukung Soeharto menjadi pahlawan? Pelajaran moral apa terhadap jagal (sebuah diksi yang sangat keras yang dinisbahkan pada Soeharto oleh sebagian pembencinya) yang dijadikan pahlawan? Begitu kira-kira pertanyaan-pertanyaannya.
Sejarah Indonesia adalah sejarah jatuh-bangun. Periode yang belakangan selalu menegasikan periode sebelumnya. Hal ini pernah digelisahkan SBY saat hendak turun dari jabatan Presiden. Tak ada keharmonisan antara yang digantikan dengan yang menggantikan. Dari Sukarno ke Soeharto. Dari Soeharto ke Habibie. Dari Habibie ke Gus Dur. Dari Gus Dur ke Megawati. Dari Megawati ke SBY. Karena itu SBY ingin menghentikan siklus seperti itu. Ternyata harapan SBY tak tercapai. Ia dikuyo-kuyo setelah menjadi mantan. Padahal ia tidak menjadi oposisi. Ia memilih menjadi pelukis dan sesekali menyanyi. Tentu soal transisi kekuasaan hanya soal politik keseharian. Berbeda dengan gelar pahlawan, yang menyangkut hal yang sangat subtansial. Justru karena itu, ini harus menjadi kepedulian semua pihak.
Jared Diamond, penulis buku laris Gun, Germs, and Steel, dalam bukunya The World Until Yesterday, bertanya, mengapa ada peradaban yang berkembang dan kemudian maju? Ia menjawab bahwa ada dua faktor yang sangat penting: stabilitas dan konsolidasi kekuasaan. Pendapat serupa juga dikatakan Arnold Toynbee. Menurutnya, peradaban menjadi maju dan berkembang karena manusia memiliki waktu untuk berkreasi setelah teknologi bercocok tanam ditemukan. Namun lebih berkembang lagi karena adanya kelompok minoritas kreatif yang selalu memikirkan kemajuan. Inti gagasan dari dua cendekiawan ini adalah bahwa kemajuan dicapai karena ada akumulasi pengetahuan yang terus menerus. Bukan karena dilakukan dekonstruksi terus menerus seperti yang terjadi dalam sejarah modern Indonesia.
Sudah saatnya kita mengkaji kembali pemikiran-pemikiran Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, juga Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Natsir bagi kemajuan Indonesia.
Inilah celakanya, bangsa Indonesia sangat gandrung pada gagasan revolusi. Sejarah Indonesia adalah sejarah kaum kiri. Hampir semua kelompok politik Indonesia bervisi kiri. Variannya saja yang berbeda, dari mulai PKI, PNI, PSI, hingga ke Masyumi dan NU. Ini karena aspek perjuangan menentang penjajahan yang diidentikkan dengan imperialisme-kapitalisme. Hal ini misalnya berbeda dengan Malaysia-Singapura yang merdeka tidak melalui revolusi. Demikian pula dengan Korea Selatan. Karena itu ide revolusi dan dekonstruksi yang berakar pada dialektika menjadi lebih mudah meresap. Dan itu keterusan tiada akhir. Maunya robohkan-ratakan, lalu membangun di atasnya. Tak ada upaya kontinuitas, maunya diskontinuitas dahulu. Hal ini berbeda dengan Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan yang melakukan kontinuitas apa-apa yang baik dari masa lalu. Mahathir Mohammad melanjutkan gagasan Tun Razak, Tun Razak melanjutkan Tun Rahman.
Saat Soeharto berkuasa, seluruh ajaran Sukarno diberangus. Saat reformasi terjadi, semua yang berbau Soeharto dijauhkan. Padahal para penolak gelar pahlawan Soeharto sebagian mengakui keberhasilan pembangunan oleh Soeharto. Bagi mereka cukup gelar Bapak Pembangunan saja. Tapi tidak untuk gelar pahlawan.
Dengan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto ini kita harus belajar dari masa lalu. Tentang hal ini. Ada baiknya kita berkaca pada perjalanan China. Mao adalah Bapak Bangsa bagi China komunis. Ia memang gagal membangun, bahkan ditimpa bencana kelaparan hebat (perkiraan 15 juta sampai dengan 45 juta orang mati) dan juga Revolusi Kebudayaan dengan perkiraan korban mati mulai dari ratusan ribu hingga jutaan orang. Karena itu ketika Mao meninggal, Deng yang menjadi penggantinya melakukan modernisasi ekonomi dengan kebijakan pintu terbuka. Hal ini tentu saja revisi terhadap marxisme-komunisme. Apalagi setelah Uni Soviet runtuh pada 1991, kebijakan Deng makin mendapatkan kebenarannya. Karena itu muncul istilah kapitalisme negara, karena bertumpu pada BUMN.
Konstitusi China mengawetkan pemikiran para pemimpin besarnya: Mao Tsetung (Pemikiran Mao), Deng Xiaoping (Teori Deng), Jiang Zemin (Tiga Perwakilan), Hu Jintao (Konsep Pembangunan Saintifik), dan Xi Jinping (Pemikiran Sosialisme dengan Karakteristik China). Mao merevisi Marx dari sekadar buruh dengan memasukkan petani. Deng menerima gagasan modernisasi ala kapitalisme. Jiang memasukkan unsur pengusaha, intelektual, dan budayawan dalam konsep komunisme yang semula hanya buruh dan petani. Hu memasukkan ilmu pengetahuan modern. Dan, Xi yang menjadikan hal-hal tradisional China yang tidak material (marxisme adalah dialektika materialisme) menjadi bagian dalam mendorong kemajuan. Perkembangan China selalu melanjutkan apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Pemikiran Jiang lahir karena berkat modernisasi ekonomi yang dilakukan Deng telah memunculkan kelas baru dalam masyarakat. Mereka harus diwadahi dan dikanalisasi.
Jadi, makna terpenting penganugerahan Soeharto sebagai pahlawan ini adalah kemampuan bangsa Indonesia untuk berdamai dengan sejarah. Dengan demikian, sudah saatnya kita mengkaji kembali pemikiran-pemikiran Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, juga Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Natsir bagi kemajuan Indonesia. Dalam varian lain kita bisa mengulas pemikiran ekonomi Sjafruddin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan Widjojo Nitisastro secara lebih jernih dan lebih sehat. Dulu kita pernah mempertentangkan teknolog vs teknokrat. Kini, Purbaya Yudhi Sadewa sedang mempertontonkan sintesanya.
Apakah dengan demikian kita melupakan tragedi selama kepemimpinan Soeharto? Tentu tidak. Kita sudah menghukumnya dengan menjatuhkannya. Dalam ujar-ujar Jawa kita mengenal “mikul duwur mendhem jero”, meninggikan yang baik dan mengubur yang buruk. Atau di Bugis kita mengenal “urrangi rua, kallupa rua”, jika ingat dua keburukan orang, ingat pula dua kebaikannya. Sudah saatnya kita siuman bahwa ada hal-hal baik yang mampu dicapai Soeharto, yang hingga kini belum bisa dicapai pemimpin manapun dalam sejarah Indonesia. Saatnya berhenti dekonstruksi, dan saatnya konstruksi; saatnya kontinuitas, dan tinggalkan diskontinuitas.

2 hours ago
2
















































