3 hours ago
1
Ilustrasi pencaplokan Tepi Barat oleh pemukim Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Israel yang selama ini agresif tiba-tara berubah. Gelombang penolakan keras dari pemerintahan Amerika Serikat terhadap rencana aneksasi Tepi Barat telah membuat elite politik Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, kalang kabut.
Mereka menyadari bahwa kedaulatan Israel di panggung internasional sangat bergantung pada tameng pelindung Amerika, baik dalam bentuk dukungan diplomatis di PBB maupun bantuan miliaran dolar setiap tahunnya. Kehilangan dukungan ini bukanlah sebuah opsi.
Kepanikan itu terlihat jelas dari aksi damage control yang dilakukan secara terbuka. Netanyahu dan para menterinya buru-buru menarik kembali wacana aneksasi, bersikeras bahwa pengesahan RUU tersebut hanyalah "kecelakaan parlementer" yang dipicu oleh oposisi, kemudian menegaskan bahwa kebijakan resmi pemerintah tidak akan bergeser tanpa koordinasi dengan Washington.
Langkah mundur yang terburu-buru ini mengungkap sebuah kebenaran pahit: di balik retorika nasionalisme dan kedaulatan yang keras, para elite Israel tahu bahwa keberlangsungan negara mereka tidak bisa bertahan tanpa restu dari Gedung Putih.
Berikut adalah enam tokoh dalam negeri Israel yang menolak aneksasi Tepi Barat, beserta bunyi perkataan mereka, yang disarikan dari laporan media:
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu
Politisi Partai Likud itu menjelaskan kelompoknya memang mendukung aneksasi di masa lalu, tapi kini Netanyahu menolak keras pemungutan suara simbolis yang terjadi pada Oktober 2025.
Kantornya mengeluarkan pernyataan yang menyebut pemungutan suara tersebut sebagai "provokasi politik yang disengaja oleh pihak oposisi untuk menabur perpecahan" selama kunjungan Wakil Presiden AS JD Vance.
Sikap ini didasarkan pada perhitungan politik Netanyahu untuk tidak membuat marah sekutu utama seperti AS, yang jelas-jelas menentang aneksasi.
