Jakarta, CNBC Indonesia - Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) merilis hasil survei terbaru tentang Survei Persepsi Risiko Global atau The Global Risks Perception Survey (GRPS) 2024-2025. Di dalamnya terdapat kekhawatiran para pelaku ekonomi terhadap berbagai masalah yang akan dialami setiap negara untuk periode 2 tahun mendatang, termasuk terhadap Indonesia.
Hasil survei itu dirilis dalam laporan berjudul The Global Risks Report 2025 yang dipublikasikan pada Januari 2025. Survei ini dilakukan terhadap 11.000 pemimpin bisnis di 121 negara. Puluhan ribu eksekutif perusahaan besar itu diminta pandangannya terhadap pertanyaan "Lima risiko manakah yang paling mungkin menimbulkan ancaman terbesar bagi negara Anda dalam dua tahun ke depan?".
Ribuan pelaku usaha itu memberikan tanggapan dalam bentuk Executive Opinion Survey (EOS). Bagi Indonesia, mereka mengkhawatirkan lima masalah besar yang akan dialami Indonesia dalam dua tahun mendatang. Lima masalah itu secara berurutan dari yang paling mereka khawatirkan sampai yang terendah sebagai berikut:
1. Dampak buruk dari perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
2. Pelemahan ekonomi (misalnya resesi, stagnasi).
3. Kemiskinan dan kesenjangan (kekayaan, pendapatan).
4. Peristiwa cuaca ekstrem (banjir, gelombang panas, dll.).
5. Kekurangan pasokan pangan.
Untuk risiko dampak buruk dari perkembangan teknologi AI ini menjadi kekhawatiran para pimpinan perusahaan tersebut karena bisa memproduksi konten palsu atau menyesatkan yang pada akhirnya memicu polarisasi di tengah-tengah masyarakat.
"Dalam laporan ini, kami menyoroti peran Generative AI (GenAI) dalam memproduksi konten palsu atau menyesatkan dalam skala besar, dan bagaimana hal itu terkait dengan polarisasi masyarakat," dikutip dari The Global Risks Report 2025 WEF, Kamis (16/1/2025).
Adapun untuk kekhawatiran terhadap potensi pelemahan atau kemunduran ekonomi dipicu oleh potensi pengenaan tarif impor yang lebih tinggi secara global, yang berpotensi menaikkan harga barang impor. Dampaknya terhadap PDB global bergantung pada beberapa faktor termasuk substitusi antara barang impor dan domestik; respons perusahaan pengekspor yang menghadapi tarif; dan reaksi kebijakan moneter.
"Satu risiko adalah bahwa perang dagang yang meningkat akan menyebabkan peningkatan inflasi, yang memaksa bank sentral untuk menghentikan atau bahkan membalikkan arah dari pemotongan suku bunga," tulis WEF dalam laporannya.
"Jika ini dikaitkan dengan penguatan dolar AS, mungkin ada risiko bertubi-tubi bagi negara dan perusahaan dengan kebutuhan pembiayaan dalam bentuk utang dolar AS," ungkap WEF.
Untuk masalah ketimpangan dan kemiskinan sebetulnya secara global dianggap sebagai risiko paling utama karena bisa memunculkan risiko sosial secara besar mulai dari melemahkan rasa kepercayaan kolektif antar masyarakat hingga mengurangi nilai-nilai kebersamaan.
"Hal ini dirasakan tidak hanya dalam masyarakat tetapi juga antar masyarakat dan pemerintah," tulis WEF dalam laporannya.
Untuk kekhawatiran terhadap masalah perubahan iklim dipicu oleh keresahan eksekutif bisnis terhadap makin nyatanya beban perubahan iklim terhadap aktivitas ekonomi tiap tahunnya. Polusi akibat penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas yang terus menerus mereka anggap menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem yang makin sering dan lebih parah.
"Gelombang panas di beberapa wilayah Asia; banjir di Brasil, Indonesia, dan beberapa wilayah Eropa; kebakaran hutan di Kanada; dan badai Helene dan Milton di Amerika Serikat hanyalah beberapa contoh terkini dari peristiwa tersebut," tulis WEF.
Terakhir, untuk permasalahan Kekurangan pasokan pangan, sebetulnya beriringan dengan kekhawatiran terhadap masalah kekurangan pasokan air. Pemicunya mereka anggap ialah eksploitasi manusia yang berlebihan dan salah urus sumber daya alam kritis, perubahan iklim (termasuk kekeringan dan degradasi lahan), dan/atau kurangnya infrastruktur yang memadai.
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: IHSG & Rupiah Loyo Hingga PDB RI Tumbuh Tak Sampai 5%
Next Article Bos BI Ungkap Alasan Mulai Jatuhnya Dolar AS & Rupiah Perkasa