Perang Tarif Hantui Pasar, Begini Rekomendasi Investasi dari DBS

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki tahun 2025, pasar keuangan global dihadapkan oleh tantangan berat seiring kebijakan kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) terhadap mitra dagang utamanya. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat memicu gejolak perang dagang, mengingat AS dan China saling berbalas tarif impor.

Memanasnya tensi perang dagang berdampak terhadap pelemahan ekonomi secara global. Selain perang dagang, pasar juga dihantui oleh kebijakan imigrasi dan upaya Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) AS yang memangkas jumlah pegawai federal, sehingga mengurangi kepercayaan konsumen dan memicu risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Indonesia pun ikut terkena dampaknya. Hal ini terbukti dari pertumbuhan PDB Indonesia yang melambat di level 4,85% pada kuartal I-2025, dibandingkan 5% pada kuartal sebelumnya. Dengan menghubungkan kondisi domestik dan global, DBS akan menilai ulang perkiraan pertumbuhan Indonesia sebesar 5%, yang sekarang menghadapi risiko penurunan yang moderat.

"Bank Indonesia memprioritaskan stabilitas pasar keuangan daripada tujuan lainnya pada kuartal pertama, dibantu oleh latar belakang inflasi yang kondusif. Kami memperkirakan prospek yang hati-hati ini akan terus berlanjut pada perkembangan tarif dan dampak selanjutnya pada kawasan, sementara BI lebih suka bersikap oportunis dengan waktu pemotongan suku bunga," ujar Senior Economist DBS Group Research Radhika Rao, dikutip Jumat (9/5/2025).

Ancaman pelemahan ekonomi global dalam jangka pendek mendorong pasar untuk mempertimbangkan adanya pemangkasan suku bunga yang lebih besar. Pelonggaran moneter lebih lanjut diperkirakan akan terjadi di kawasan China dan Eropa. Di sisi lain, Jepang akan melanjutkan kebijakannya dengan menaikkan suku bunga acuan.

Faktor lain yang berpotensi mewarnai narasi pasar terutama pada kuartal II-2025 adalah komoditisasi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Peluncuran model bahasa DeepSeek pada Januari 2025 terbukti telah menggemparkan industri teknologi dan AI. Sebab, DeepSeek mampu menyaingi model terkemuka seperti ChatGPt-4o dari OpenAI dengan biaya yang jauh lebih rendah.

Terobosan ini mendorong aksi jual saham teknologi seiring menurunnya hambatan masuk bagi pemain dalam skala kecil. Di lain pihak, perusahaan teknologi besar harus menghadapi tantangan berupa ketergantungan pada skala investasi dan daya komputasi besar. Meski kehadirannya menimbulkan volatilitas jangka pendek, DeepSeek justru bakal tetap menguntungkan bagi ekonomi dalam jangka panjang.

Melihat kondisi pasar terkini, DBS memproyeksikan bahwa tahun 2025 akan menjadi tahun yang penuh dengan risiko volatilitas. Memasuki kuartal II-2025, Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Hey Fook pun melakukan dua perubahan portofolio utama.

Pertama, menurunkan porsi saham AS menjadi underweight dalam periode tiga bulan ke depan dengan tetap mempertahankan overweight 12 bulan sekaligus mempertahankan keyakinan pada sektor teknologi dan layanan kesehatan AS.

Kedua, meningkatkan porsi saham Eropa menjadi overweight tiga bulan dengan tetap mempertahankan underweight 12 bulan, mencari peluang pada industri Eropa, keuangan, layanan kesehatan, dan teknologi.

Peralihan ini akan membantu investor dalam melakukan diversifikasi dari perdagangan yang ramai dan mengurangi risiko konsentrasi pada sektor teknologi AS dan saham Magnificent Seven seperti Apple, Microsoft, Amazon, Alphabet, Meta, Nvidia, dan Tesla.

Di samping itu, investor disarankan untuk memperbanyak eksposur pada emas dan aset privat. Hal ini didukung oleh lonjakan harga komoditas emas seiring meningkatnya permintaan aset safe haven akibat ketidakpastian ekonomi di masa kepemimpinan Donald Trump 2.0 dalam jangka pendek. Adapun risiko jangka menengah hingga panjang muncul dari kekhawatiran terhadap kondisi fiskal AS dan meningkatnya risiko de-dolarisasi di tengah dinamika geopolitik global.

DBS pun pernah menjelaskan bahwa alokasi portofolio investasi dengan pola 40/30/30 atau 40% ekuitas, 30% obligasi, dan 30% aset alternatif telah mengalami penurunan nilai lebih ringan dibandingkan portofolio tradisional 60/40 selama periode tekanan finansial. Hal ini dibuktikan dari data selama periode Desember 2007 hingga September 2023 yang menyatakan bahwa volatilitas tahunan untuk portofolio 40/30/30 hanya sebesar 9,3% atau lebih rendah dibandingkan portofolio 60/40 yang mencapai 11,4% pada periode yang sama.

Bila disimpulkan, di tengah ketidakpastian perang tarif, menurunnya kepercayaan konsumen terhadap DOGE, kebijakan imigrasi yang membuat keunggulan ekonomi AS mulai goyah, hingga volatilitas pasar akibat komoditisasi AI, DBS tetap overweight pada obligasi. Pasalnya, obligasi dapat berfungsi sebagai lindung nilai terhadap perlambatan ekonomi. Obligasi investment grade (IG) dengan peringkat kredit A/BBB diyakini akan diuntungkan dari potensi pemangkasan suku bunga yang lebih dalam oleh The Fed.

Sementara untuk saham, DBS tetap bersikap netral terhadap instrumen ini. DBS tetap yakin pada pertumbuhan jangka panjang saham teknologi AS sembari melakukan diversifikasi pada peluang yang ada di China setelah terobosan DeepSeek, serta di Eropa seiring pergeseran kebijakan Jerman dari disiplin fiskal ke stimulus besar-besaran.

Tak ketinggalan, DBS turut mempertahankan posisi overweight pada aset alternatif yang meliputi emas dan aset privat. Kedua aset ini dikoleksi dengan tujuan mendapatkan imbal hasil yang tidak bergantung pada pergerakan pasar sekaligus memperkuat daya tahan portofolio investasi para investor.

Lebih jauh, DBS memberikan beberapa imbauan taktis dalam mengelola portofolio investasi untuk kuartal II-2025 yang dipenuhi oleh berbagai tantangan.

1 Lintas Aset - Obligasi tetap menjadi pilihan di tengah ancaman ketidakpastian

Meskipun perekonomian AS memiliki daya tahan yang tinggi, data terbaru memberi sinyal adanya perlambatan dengan angka penjualan ritel dan kepercayaan konsumen yang lebih lemah dari perkiraan. Dampak negatif dari kebijakan Donald Trump juga belum seluruhnya tercermin dalam kinerja keuangan perusahaan, apalagi kebijakan transaksionalnya masih berubah-ubah. DBS pun tetap menjadikan obligasi sebagai strategi investasi utama dibandingkan dengan saham di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian seperti saat ini.

2 Saham - Diversifikasi di luar indeks S&P 500

Kebijakan pelonggaran fiskal pada periode kedua Donald Trump ternyata hanya menimbulkan euforia sesaat yang berakhir dengan cepat. Hal ini terbukti dari S&P 500 yang telah menghabiskan seluruh kenaikan kinerjanya pasca Pemilu AS. Di sisi lain, pasar Eropa dan Asia, di luar Jepang, justru mengalami lonjakan sepanjang kuartal II-2025.

Jelang kuartal berikutnya, DBS menyarankan investor untuk menghindari kepadatan perdagangan di AS dan mengalihkan fokusnya ke Eropa, terutama sektor industri yang diuntungkan oleh peningkatan belanja pertahanan dan infrastruktur. Di samping itu, sektor teknologi dan konsumsi di China juga menawarkan peluang menjanjikan seiring peningkatan permintaan perangkat berbasis AI.

3 Obligasi - Tetap overweight pada obligasi

DBS telah memperingatkan pada kuartal sebelumnya bahwa ekspektasi kenaikan imbal hasil obligasi di bawah kepemimpinan Trump jilid kedua mungkin tidak sepenuhnya terjadi, mengingat pemerintahan baru AS perlu mengerek tarif untuk sebagian membiayai pemangkasan pajaknya. Dampak ekonomi dari perang dagang global pada akhirnya menekan imbal hasil obligasi.

Sejak puncaknya pada 14 Januari 2025, imbal hasil US Treasury 10 tahun terkoreksi akibat meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap tarif. Di samping itu, spread kredit investment grade (IG) dan high yield (HY) AS trap stabil meski ketidakpastian kebijakan kembali meningkat.

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Di antaranya adalah fundamental korporasi yang masih solid dengan risiko gagal bayar yang tetap rendah, imbal hasil menarik yang mampu menjaga aliran dana ke pasar kredit, serta kemungkinan kenaikan suku bunga acuan The Fed yang tetap rendah, mengingat risiko perlambatan ekonomi kembali meningkat

4 Aset alternatif - Emas menjadi pemenang besar di bawah Trump 2.0 dan aset privat menjadi peluang menarik

DBS menganggap emas tetap diuntungkan dengan skenario Trump 2.0 atau jilid dua. Di satu sisi, pemotongan pajak dan deregulasi yang diterapkan Trump akan memperburuk kekhawatiran jangka panjang terkait penurunan nilai kurs dollar AS. Namun, di sisi lainnya, kebijakan tarif perdagangan dan guncangan kebijakan yang dihasilkan akan menekan imbal hasil obligasi. Dengan demikian, investor terpacu untuk mengalihkan asetnya ke safe haven seperti emas.

Untuk sektor privat, DBS menyarankan investor untuk mencari peluang di tengah maraknya pembelian yang terjadi di pasar dan saham korporat yang berfokus pada pertumbuhan. Perusahaan di segmen menengah ini cenderung memiliki valuasi pembelian yang lebih rendah dan memberi ekspansi nilai yang lebih besar pada masa depan. Tak hanya itu, kebutuhan leverage yang lebih rendah dalam transaksi di segmen ini membuat aset privat tampak lebih tangguh di tengah era suku bunga tinggi.


(dpu/dpu)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Mana lebih Profit, Investasi di Obligasi, Deposito Vs Emas?

Next Article Investor Wajib Tahu, 3 Jenis Risiko Investasi Saham dan Obligasi

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|