Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menjamin kebijakan baru devisa hasil ekspor hasil revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tidak akan mengganggu iklim ekspor Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kebijakan baru tersebut nantinya akan mewajibkan 100% dolar hasil ekspor dimasukkan kembali selama setahun di sistem keuangan domestik selama satu tahun.
"Enggak mungkin kita akan mengganggu keberlangsungan usaha para ekspor, itu enggak mungkin," tegas Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso di kantornya, Jakarta, Rabu (22/1/2025).
Susiwijono pun menegaskan, pemerintah sudah memikirkan segala bentuk kekhawatiran para pengusaha terhadap kebijakan ini, misalnya soal bengkaknya biaya modal karena 100% dolar hasil ekspor harus disimpan di sistem keuangan dalam negeri.
Menurut pengusaha beban modal itu akan tercipta karena, bunga dari rekening berjangka DHE-SDA hanya sebesar 5%, sedangkan pinjaman dengan bunga komersial untuk kebutuhan modal hingga bisa ekspor kembali bisa 8-11% per tahunnya.
"Kita sudah hitung, BI itu menyiapkan instrumen, instrumennya dijamin kompetitif dari sisi bunganya spreadnya maupun compare dengan negara lain, asing, kita jamin kompetitif," tegas Susiwijono.
Ia mengakui, hal itu tentu tidak menjamin ada ongkos tambahan. Namun, antara bunga instrumen BI dengan bunga pinjamannya, spreadnya akan kecil dan dijamin lebih kompetitif dibanding dengan negara lain.
"Dan sudah kita atur kolateralnya, OJK juga sudah setuju bahkan tidak diperhitungkan di dalam BMPK, batas maksimum pemberian kredit juga enggak masuk, nanti deh teknisnya kita bicarain," ucap Susiwijono.
Di sisi lain, pemerintah juga masih merancang berbagai insentif baru untuk mengakomodir berbagai kepentingan supaya supaya iklim perdagangan Indonesia ke luar negeri tetap terjaga.
"Nanti beberapa insetif yang akan kita diskusikan termasuk yang terkait pembiayaan, kebutuhan dan sebagainya ini dengan perbankan," ujarnya.
Susiwijono juga menegaskan, prinsip utama dari kebijakan DHE dalam revisi PP 36/2023 ialah para pengusaha eksportir terlebih dahulu memulangkan atau repatriasi seluruh dana hasil ekspor komoditas sumber daya alam yang telah diperoleh dari tanah air Indonesia.
Setelah repatriasi dilakukan, para pengusaha ekspor itu tentu akan mengkonversikan sebagian perolehan valas hasil ekspornya itu untuk kebutuhan operasionalnya di dalam negeri, barulah sisanya diretensi atau diparkirkan ke dalam sistem keuangan domestik, seperti simpanan di bank atau instrumen investasi lainnya.
"Katakan begitu saya ekspor, saya dapat US$ 100 juta, saya perlu ngambil yang 80% untuk operasional cost saya dalam rupiah, ambillah katakan US$ 80 juta langsung dikonversi ke rupiah, itu nanti mengurangi kewajibannya," kata Susiwijono.
"Jadi kewajibannya hanya 100% dari yang tinggal US$20 juta saja. Jadi kewajiban 100% tetap dapat tapi biaya-biaya operasional dalam rupiah tadi juga perusahaan ini tetap bisa jalan," tegasnya.
Dengan begitu, Susiwijono memastikan, kebijakan ini tentu tidak akan mengganggu arus kas perusahaan-perusahaan ekspor di Indonesia. Sebab, pemerintah menurutnya juga berkepentingan untuk menjaga iklim ekspor tetap kondusif karena ekspor merupakan salah satu komponen dalam pendorong pertumbuhan ekonomi.
"Untuk mendorong mencapai pertumbuhan yang 8% itu kan andalanya satu konsumsi karena 55% kita dari konsumsi rumah tangga, yang kedua investasi karena hampir 30%, dan jangan salah ekspor juga sangat penting di dalam komponen PDB kita," ucap Susiwijono
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Bunga TD DHE 12 Bulan Akan di Atas Deposito di Singapura
Next Article Kembangkan Pasar Batu Bara Metalurgi, ADMR Cuan dari Jepang & China