Jakarta, CNBC Indonesia - Jatuhnya angka kelahiran menjadi isu kritis global saat ini. Tak sedikit negara yang mengalami isu ini rela mengeluarkan anggaran banyak untuk mendorong angka kelahiran.
"Perancis, mereka menghabiskan lebih dari 3% PDB mereka untuk meningkatkan angka kelahiran. Namun, itu tidak berhasil," ungkap Country Representative UNFPA Indonesia Hassan Mohtashami saat seminar Penyempurnaan Tabel Kehidupan Indonesia di Kantor Bappenas, Jakarta pada Senin (6/10/2025).
Untuk diketahui, berdasarkan bank dunia, pada 024, PDB Perancis mencapai US$3,16 triliun. Sehingga angka 3% usaha Perancis meningkatkan kelahiran mencapai US$94,8 miliar atau Rp1.564,2 triliun.
Hassan mengatakan bahwa tidak hanya Perancis yang mengeluarkan anggaran besar untuk membiayai kelahiran.
"Korea Selatan menghabiskan 1,6% atau sekitar itu, dari PDB mereka untuk mendorong fertilitas. Cara itu tidak berhasil. Hal yang sama terus bertambah. Daftarnya terus bertambah. Ada banyak sekali," ungkap Hassan.
Ia mengatakan bahwa tingkat kelahiran rendah yang ada di berbagai negara saat ini merupakan hegemoni baru.
"Intinya, tingkat kelahiran yang rendah adalah realitas kehidupan yang baru. Tingkat kelahiran yang rendah adalah akibat dari cara hidup yang baru. Ini adalah hegemoni baru. Ini adalah kehidupan yang baru," katanya.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memang belum mengalami resesi seks. Tetapi, bukan berarti Indonesia baik-baik saja. Tanah Air tengah dihantui masalah besar ini.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan Indonesia berpotensi menuju aging population, yakni jumlah penduduk lansia yang meningkat signifikan, lebih cepat dari perkiraan awal.
"Penduduk Indonesia yang produktif masih dominan, namun data juga menunjukkan kita ternyata segera memasuki penduduk yang menua atau aging population. artinya dalam beberapa dekade, proporsi penduduk lansia kita akan semakin meningkat," ujar Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Muhammad Cholifihani dalam acara yang sama.
Cholifihani mengungkapkan efek dari aging population yang terjadi di Indonesia akan sangat besar, terutama dari segi pembiayaan kesehatan dan pensiun.
"Konsekuensinya jelas, adalah beban pembiayaan kesehatan dan pensiun pasti akan meningkat dan besar," ungkapnya.
Sehingga negara tidak hanya harus siap menyambut bonus demografi, namun juga bersiap masa aging population.
Selain itu, pada masa saat ini, ia menilai penduduk produktif yang berusia 15-64 tahun harus benar-benar dipastikan kesehatannya dari usia muda hingga nantinya tua. Sehingga penduduk Indonesia tetap sejahtera baik muda maupun masa tua dengan angka harapan hidup yang tinggi.
Oleh karena itu, Cholifihani percaya bahwa dengan adanya tabel kehidupan akan membantu negara untuk siap dalam mengoptimalkan bonus demografi dan juga siap menghadapi masa aging population.
"Dengan tabel kehidupan, bonus itu (bonus demografi) InsyaAllah bisa kita transformasikan sebagai dividen kesejahteraan," ucapnya.
Cholifihani menjelaskan bahwa tabel kehidupan dapat menyediakan parameter mortalitas yang akurat hingga tingkat daerah, sehingga proyeksi penduduk lebih presisi menurut umur dan jenis kelamin, serta memungkinkan skenario kewilayahan.
Selain itu juga membuat perhitungan anggaran negara untuk jaminan sosial kuga lebih akurat, contohnya dalam hal penyusunan besaran iuran jaminan sosial dan manfaat yang berimbang.
Tabel kehidupan dalam jangka pendek dan menengah diharapkan dapat memperkuat registrasi kematian dan kualitas data vital serta sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional.
Sementara arah kebijakan tabel kehidupan untuk jangka panjang adalah untuk mencapai usia angka harapan hidup 80 tahun pada 2045. Sebagai informasi angka harapan hidup penduduk Indonesia pada 2024 mencapai 74 tahun.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]