Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan menurunkan suku bunga acuan atau BI rate ke level 5,75% dari sebelumnya 6%. Hal ini diharapkan Gubernur BI Perry Warjiyo dapat memberikan dampak positif terhadap likuiditas perbankan.
Bankir menyambut baik keputusan BI menurunkan suku bunga acuan. Akan tetapi bukan hanya itu yang diperlukan untuk mendorong jumlah uang beredar.
Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) Lani Darmawan mengatakan bahwa bahwa meskipun keputusan pemangkasan BI ini adalah "berita baik", tidak serta merta akan menurunkan cost of fund. Menurutnya, kondisi likuiditas perbankan masih ketat karena suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masih relatif tinggi.
Terpisah, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk. (BNI) Royke Tumilaar menilai keputusan pemangkasan bunga acuan domestik ini menjadi sinyal yang baik. Menurutnya, itu menandakan adanya perbaikan prospek ekonomi ke depan.
Menurutnya, pemangkasan suku bunga ini dapat mendorong ekspansi kredit, walau mungkin tidak terlalu besar. "Mudah-mudahan, menurut saya signal BI turunin suku bunga 0,25 itu sudah bagus banget. Itu berarti signal bahwa, ya banyak hal lah, pasti impact-nya banyak lah ya," ujar Royke.
Dia berharap BI juga bisa menurunkan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sehingga dapat mendorong jumlah uang beredar di RI.
Sementara itu Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan fenomena rebutan dana antara pemerintah dan perbankan tidak bisa dihindari.
"Iya nggak bisa dihindari, karena tahun ini, ada Rp800 triliun utang pemerintah yang akan jatuh tempo," kata dia saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (16/1/2025).
Maka demikian, Trioksa mengatakan bank perlu menahan bunga simpanan sementara waktu, agar para nasabah tidak mengalikan simpanannya ke instrumen lain.
"Untuk menjaga likuiditas sepertinya itu yang akan ditempuh bank," ujar Trioksa terkait potensi tren cost of fund bank tetap tinggi.
Menurutnya, penurunan BI Rate lebih membantu bank dalam memberikan kelonggaran untuk menurunkan suku bunga kredit. Lantas, kualitas dan ekspansi kredit bank diharapkan dapat membaik.
Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David E. Sumual mengatakan bahwa bila dilihat dari sisi rasio, likuiditas industri perbankan memang masih amat. Akan tetapi ketersediaan likuiditas yang terbatas dapat dilihat dari harga.
"Kalau lihat likuiditas dari sisi price atau interest. Kalau lihat pricing, misal di antar bank itu cenderung naik," katanya kepada CNBC Indonesia, Selasa (14/1/2025).
Sebagai informasi, per 10 Januari 2025, terpantau imbal hasil IndONIA sebesar 6,05%. Angka ini di atas dari BI rate yang sejak 18 September 2024 berada di level 6%.
Bahkan jika dilihat lebih jauh, sejak pertengahan Agustus 2024 hingga Januari 2025, imbal hasil IndONIA seringkali berada di atas BI rate.
David melanjutkan bahwa hal itu disebabkan oleh suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang saat ini telah mencapai 7,23%. Alhasil instrumen investasi lain, seperti deposito milik perbankan kalah menarik.
"Bank likuiditas terbatas, karena saling berebut, pemerintah lewat SBN, BI ada SRBI, belum bank-bank lain," katanya.
Hal itu menjadi kekhawatiran tersendiri bila berlanjut dalam jangka panjang. Pada akhirnya hal ini akan berdampak pada penyaluran kredit dan ketahanan industri perbankan.
Adapun mengutip data Bank Indonesia, per Desember 2024 kredit perbankan tumbuh 10,93% secara tahunan (yoy), sedangkan dana pihak ketiga (DPK) per November 2024naik 6,3% yoy.
Sementara itu, pada periode yang sama, rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) mencapai 112,94 %, lalu rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 25,57 %.
(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini: