Catatan Kritis Indef Soal 100 Hari Kinerja Prabowo

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang 100 hari Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memberikan beberapa catatan penting terhadap kebijakan-kebijakan strategis yang sudah dijalankan.

Direktur Program Indef, Eisha Maghifura menilai Pada 100 hari pertama pemerintahan Prabowo masih kurang 'ngegas' untuk mendorong pertumbuhan UMKM.

Ia menilai satu kementerian khusus yang sudah disiapkan oleh Prabowo untuk UMKM masih terlalu sibuk dengan struktur yang ada didalamnya.

"Kementrian masih sibuk dengan struktur yang ada didalamnya padahal program-program UMKM tidak bisa menunggu, pemerintah harus jalan cepat sementara pemecah kementrian masih jadi fokus. Jadi belum melihat realisasi program yang diangkat padahal banyak yang bisa dilakukan," ujar Eisha dalam konferensi pers, Rabu (22/1/2025).

Eisha pun mengatakan saat ini, program hapus tagih kredit sebanyak 1,09 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bank BUMN yang dicanangkan pada November 2024 juga masih belum berjalan dengan maksimal.

"Sampai saat ini pun kita lihat ingin menyasar 1 juta UMKM namun untuk pendataan pun masih 67 ribu UMKM. Dengan diterbitkannya PP ini pada november 2024 harusnya sudah bisa berjalan ini satu peraturan," ujarnya.

Tak hanya itu, dalam sektor UMKM, Eisha menilai masih banyak pekerjaan rumah yang dapat dilakukan oleh pemerintahan Prabowo. Seperti literasi digital, akses pembiayaan, hingga teknologi digital yang terbatas.

"Program Makan Bergizi Gratis juga seharusnya bisa memberi multiplier effect ke UMKM. Sampai saat ini MBG belum meledakkan UMKM," ujar Eisha.

Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri mengatakan 100 hari pemerintahan Prabowo masih belum ada arahan kebijakan yang jelas. Masih belum terlihat kemana arah dari program-program yang dicanangkan.

Ketidakjelasan arah kebijakan juga terlihat dari RPJMN 2025-2029 yang masih belum diterbitkan kepada masyarakat.

"Yang bisa diharapkan 3 bulan ini adalah arah kebijakan ke depan. Ini yang belum bisa kita lihat," ujar Yose.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menjelaskan saat ini masih terlalu dini untuk menilai kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Kendati demikian, sinyal-sinyal arah kebijakan sudah mulai terlihat saat ini.

Menurutnya, saat ini terdapat enam kecenderungan dalam pemerintahan Prabowo. Wija mengatakan terlepas dari beberapa kebijakan yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan diluruskan jika Prabowo ingin mewujudkan Asta Cita.

1. Koordinasi antar instansi kurang solid

Wija menilai saat ini banyak terjadi perbedaan narasi dalam kabinet Prabowo. Baik antar menteri, antar kementerian, hingga dengan pemerintahan pusat dan daerah. Hal ini dapat membingungkan masyarakat luas dan juga investor.

Sebagai contoh, Prabowo saat mengumumkan kenaikan UMP menjadi 6,5% pada Desember 2024. Menurut Wijayanto, kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dan dilakukan secara mendadak.

"Prosesnya agak mendadak. Ketika pengusaha bertanya itung-itungannya tidak ada diskursus tentang angka ini dikeluarkan," ujar Wijayanto dalam konferensi pers Rabu (22/1/2025).

Tak hanya itu, Prabowo juga secara mendadak dalam saat-saat terakhir membatalkan kenaikan PPN 12% untuk seluruh barang dan jasa.

"Prosesnya mendadak tanpa diskusi. Ketika PPN 12% dibatalkan ternyata insentif masih jalan. Ternyata yang dipajaki hanya barang mewah tapi insentif tidak dicabut jadi kebijakan yang diharapkan memperkuat fiskal justru menambah pengeluaran," tegasnya.

2. Komunikasi publik yang buruk

Wijayanto menilai sejauh ini pemerintahan Prabowo masih terlalu banyak memberikan janji-janji. Seperti Badan Pengelola (BP) Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Pembentukan Danantara merupakan keinginan Prabowo agar Indonesia memiliki model pengelola investasi seperti di negara lain.

Namun hingga saat ini masih belum jelas peluncuran badan pengelolaan tersebut.

"Danantara saya sangat support ternyata harus ditunda artinya rencana besar yang bagus diumumkan tapi kurang pendalaman apa yangg perlu disiapkan sehingga banyak yang kecewa," ujarnya.

3. Pendekatan tidak sistematis dan komprehensif

Berbagai keputusan dalam pemerintahan Prabowo juga dinilai hanya sebagian kecil dan tidak komprehensif atau hanya menggunakan pendekatan piecemeal.

"Solusi yg didorong tidak komprehensif seperti membantu UMKM dengan menghapus hutang padahal dibalik itu masih banyak rentetan masalah lain yang bisa diselesaikan," ujarnya.

4.Dominasi program populis

Terlepas dari banyaknya 'keringanan' dan 'hadiah' yang diberikan oleh pemerintahan Prabowo, Wijayanto menilai banyak program yang hanya memberikan dampak jangka pendek.

Seperti saat tiket pesawat 10%. Menurut Wijayanto, kebijakan ini dapat memberikan masalah baru

Untuk industri penerbangan.

"Industri penerbangan marginnya sudah sangat tipis ketika diberitakan turun tanpa membenarkan ekosistem ini menimbulkan distrupsi yang tidak perlu kepada industri," tegasnya.

5.Basis teknokratis kebijakan yang kurang

Wijayanto menilai dalam pemerintahan Prabowo kebijakan yang diambil masih banyak menggunakan pendekatan politik.

Dengan basis teknokratis yang lebih kuat, dalam pengambilan keputusan juga akan lebih terukur.

"Kalo basis teknokratis nya kuat enak diskusi memberikan masukan dampaknya terukur kalau tidak ada memang sulit untuk melakukan perbaikan," ujarnya.

6. Gap yang lebar antara narasi dan implementasi

Banyaknya narasi yang berkembang di masyarakat dinilai Wijayanto tidak sesuai dengan implementasi yang terjadi di lapangan.

"Ada narasi besar seperti ingin memberantas korupsi, program-program lainnya tapi dari tp dari sisi technicality rasanya masih belum banyak di garap," ujarnya.

Wijayanto pun memberikan catatan untuk tantangan fiskal dan yang akan dialami oleh pemerintahan Prabowo.

Pasalnya, utang pemerintah terus membengkak mencapai Rp 8.680 triliun pada 2024 dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39%. Selain itu bunga utang yang tinggi, tenor utang yang pendek dan penerimaan negara yang rendah menyebabkan situasi fiskal Indonesia sangat beresiko.

Bahkan, Debt Service Ratio (DSR) diperkirakan mencapai 45% di tahun 2025 dan 44% pada tahun 2026 atau jah dari batas aman 30%. Kondisi fiskal yang berat dan tingkat kepercayaan investor yang rendah merupakan tantangan utama.

"Ketika DSR sudah sangat tinggi ini sudah lampu kuning. Kan kita mengharapkan investor, sementara investor mengharapkan bunga yang lebih tinggi," ujarnya.

Wijayanto menyarankan untuk pemerintahan Prabowo untuk mencari sumber pendanaan fiskal yang lebih berkelanjutan.

Karena, ia menilai SBN bukanlah sumber pembiayaan yang dapat bertahan dalam jangka panjang. Tercatat, dari total Rp 8.530 triliun utang pemerintah, sebesar Rp 7.483 atau sekitar 87,7%.

"Kenapa banyak SBN, utang itu mudah ini yg terjadi dalam 10 tahun terakhir. Tanpa fiskal yang bagus tidak bisa membiayai program-program pemerintah" ujarnya.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Waspada! Inflasi 2024 Terendah Sepanjang Masa

Next Article Ekonom Senior Faisal Basri Meninggal Dunia Akibat Serangan Jantung

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|