Jakarta, CNBC Indonesia - China kembali meningkatkan kehadiran maritimnya di Laut China Selatan (LCS) dengan mengerahkan kapal penjaga pantai ke perairan sekitar 40 mil dari Palawan, provinsi paling barat Filipina.
Langkah ini dinilai sebagai demonstrasi kekuatan oleh para analis, yang menilai Beijing semakin agresif dalam mempertahankan klaimnya atas wilayah yang disengketakan.
Kehadiran kapal-kapal China di zona ekonomi eksklusif (EEZ) Filipina ini memicu kecaman keras dari Manila, yang menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Adapun Filipina dan China telah lama bersengketa di Laut China Selatan, dengan Beijing mengeklaim hampir seluruh wilayah laut ini berdasarkan apa yang disebut sebagai "hak historis". Klaim ini telah ditolak oleh Mahkamah Arbitrase Internasional pada tahun 2016, yang menegaskan bahwa Filipina memiliki hak atas sejumlah wilayah di Laut China Selatan, termasuk perairan di sekitar Palawan dan Zambales.
Meski demikian, China tetap melakukan patroli intensif di wilayah-wilayah yang disengketakan dan bahkan membangun pulau buatan untuk memperkuat kehadiran militernya.
Dalam beberapa bulan terakhir, kapal penjaga pantai China terus mendekati Provinsi Zambales, yang terletak dekat dengan Pulau Luzon-tempat ibu kota Manila berada. Kini, kapal-kapal tersebut terlihat semakin jauh ke selatan, memasuki perairan di sekitar Palawan.
Ray Powell, Direktur kelompok analis maritim SeaLight yang berafiliasi dengan Stanford University, menyatakan bahwa langkah Tiongkok ini adalah bagian dari strategi "gray-zone tactics"-taktik yang digunakan untuk menegaskan dominasi tanpa memicu respons militer secara langsung.
"Patroli intrusif ini merupakan bagian dari taktik Beijing untuk menciptakan kehadiran terus-menerus dan secara bertahap menormalisasi yurisdiksi mereka atas wilayah yang menurut hukum internasional merupakan milik negara lain," ungkap Powell, dikutip dari Newsweek, Selasa (18/2/2025).
Kecaman Filipina
Menanggapi meningkatnya aktivitas kapal penjaga pantai China, Penjaga Pantai Filipina (PCG) menegaskan tidak akan mundur dalam mempertahankan kedaulatan negara.
"Penjaga Pantai Filipina tetap teguh dalam komitmen untuk menegakkan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksi maritim negara di Laut Filipina Barat sesuai dengan UNCLOS, Undang-Undang Zona Maritim Filipina, serta Putusan Arbitrase 2016," tulis Juru Bicara PCG, Jay Tarriela, dalam sebuah unggahan di platform X.
Filipina telah lama menentang keberadaan kapal-kapal China yang dianggap mengganggu kebebasan navigasi dan mengklaim yurisdiksi secara tidak sah. Selain patroli, Beijing juga terus membangun infrastruktur militer di wilayah-wilayah yang disengketakan, termasuk di Terumbu Scarborough, Terumbu Second Thomas, Sandy Cay, dan Sabina Shoal.
Pihak China, melalui Hu Bo, Direktur Pusat Studi Strategi Maritim Universitas Peking, menuduh Filipina justru menjadi pihak yang memprovokasi dengan terus menantang klaim Beijing.
"Sejak 2023, Filipina telah secara aktif menantang China di berbagai titik panas konflik, menolak mengakui adanya pemahaman atau sengketa dengan China," tulis Hu Bo dalam sebuah artikel pada Januari.
Menurutnya, langkah agresif Beijing dalam beberapa bulan terakhir telah memaksa Filipina untuk mulai mengakui realitas di lapangan, yang membuat Manila akhirnya mengurangi provokasinya.
Apa Kata Pakar?
Sejumlah pakar pertahanan dan keamanan menilai bahwa tindakan China makin mengukuhkan posisinya sebagai ancaman eksternal utama bagi Filipina.
Collin Koh, seorang peneliti senior di Institute of Defense and Strategic Studies, Singapura, menulis dalam unggahannya di X bahwa "Republik Rakyat China telah menjadi ancaman keamanan eksternal utama bagi Filipina."
Koh menyoroti bahwa meskipun Filipina sebelumnya lebih fokus pada keamanan dalam negeri, kini ancaman dari Tiongkok semakin mendominasi kebijakan pertahanan nasional.
Sebagai respons terhadap meningkatnya tekanan dari Beijing, Manila terus memperkuat militernya melalui program modernisasi senilai US$35 miliar. Salah satu upaya yang tengah dilakukan adalah pembelian kapal perang dari Korea Selatan, serta rencana akuisisi dua kapal selam untuk meningkatkan kekuatan maritimnya.
Selain itu, kehadiran sistem rudal jarak menengah AS di Filipina sejak April lalu juga semakin memperumit situasi. Beijing menganggap kehadiran sistem persenjataan ini sebagai "langkah yang sangat berbahaya", yang dapat meningkatkan risiko konfrontasi militer di kawasan.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: DPR Filipina Setujui Pemakzulan Wapres Sara Duterte
Next Article Gonjang-ganjing LCS Kian Panas, China Disebut Tekan Habis Tetangga RI