Dari Jakarta untuk Gaza: Pembuktian Janji yang Tak Pernah Padam

10 hours ago 1

Oleh : Erdy Nasrul, Wartawan Republika

Langit Gaza masih kelabu. Kepulan debu beterbangan di sekitar reruntuhan gedung yang pernah menjadi rumah, sekolah, atau masjid. Jalan-jalan yang dulu ramai kini dipenuhi pecahan kaca.

Di antara puing-puing itu, suara tangis anak-anak bersahutan dengan panggilan azan yang lirih, mengingatkan dunia bahwa kehidupan belum sepenuhnya padam. Kota yang pernah menjadi simbol keteguhan kini berubah menjadi mozaik kesedihan, tapi di balik kehancuran itu, masih tersisa denyut harapan yang mungkin kecil, tapi nyata.

Rumah sakit penuh sesak dengan korban yang membutuhkan perawatan. Pasokan listrik dan air bersih nyaris tak ada. Banyak keluarga hidup di tenda darurat, bertahan dengan apa yang tersisa. Namun di tengah penderitaan itu, warga Gaza menunjukkan resiliensi yang luar biasa.

Mereka menolak menyerah pada keputusasaan, seolah ingin menegaskan kepada dunia bahwa keyakinan dan kemanusiaan tak bisa dihancurkan oleh bom dan kebiadaban Israel. Gaza memang hancur secara fisik, tapi semangatnya masih berdiri tegak.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia tidak akan berpaling dari penderitaan rakyat Gaza. Dalam pernyataannya di Jakarta, Prabowo menyebut krisis kemanusiaan di Gaza sebagai ujian bagi nurani dunia. Ia menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk terus membantu pemulihan wilayah itu, baik melalui jalur diplomasi maupun bantuan kemanusiaan langsung.

“Kita akan selalu berdiri di sisi rakyat Palestina. Indonesia lahir dari perjuangan melawan penjajahan, dan semangat itu pula yang mendorong kita untuk membantu Gaza bangkit kembali,” ujar Prabowo pada pertengahan Oktober dalam sebuah kesempatan.

Menurutnya, bantuan untuk Gaza bukan hanya soal politik luar negeri, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral. Ia menekankan pentingnya solidaritas antarbangsa dalam menghadapi krisis kemanusiaan yang begitu dalam.

Prabowo juga menyatakan bahwa Indonesia siap menjadi bagian dari upaya internasional untuk memastikan gencatan senjata berjalan dan proses rekonstruksi berlangsung aman. “Kita harus bantu Gaza bukan karena mereka meminta, tetapi karena itu adalah panggilan kemanusiaan,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Sugiono menegaskan bahwa Indonesia akan terus mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza tanpa henti. Dalam keterangan resminya, ia menyebut bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah paket bantuan berupa obat-obatan, logistik pangan, serta tim medis yang siap diterjunkan ke lapangan.

“Kami berharap Israel membuka akses bantuan kemanusiaan selebar mungkin agar proses pemulihan Gaza berjalan cepat dan efektif,” kata Sugiono.

Ia juga menyampaikan bahwa Indonesia aktif bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional seperti PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk memastikan bantuan bisa masuk tanpa hambatan. Bagi Sugiono, krisis Gaza bukan hanya tragedi kawasan, tetapi tragedi kemanusiaan dunia.

“Anak-anak Gaza punya hak yang sama untuk hidup, belajar, dan bermimpi seperti anak-anak lain di dunia,” ujarnya.

Selain bantuan logistik, Indonesia juga mendorong upaya diplomatik untuk memastikan gencatan senjata bertahan lama. Sugiono menilai, perdamaian sejati hanya dapat tercapai jika semua pihak menghormati hukum internasional dan prinsip kemanusiaan.

“Tidak ada perdamaian yang lahir dari penindasan. Kita ingin melihat Gaza bangkit, bukan hanya dari puing-puing fisiknya, tapi juga dari trauma dan ketakutan yang begitu lama mereka tanggung,” ujarnya.

Sejumlah lembaga kemanusiaan di Indonesia juga terus menggalang dukungan publik. Donasi mengalir dari berbagai daerah, menunjukkan besarnya empati rakyat Indonesia terhadap penderitaan saudara-saudara mereka di Gaza.

Dari masjid-masjid hingga sekolah, dari komunitas kecil hingga perusahaan besar, semangat solidaritas tumbuh subur. Gaza seakan menjadi cermin, yang membuat banyak orang di Indonesia kembali merenungkan makna kemanusiaan.

Kehadiran bantuan internasional, termasuk dari Indonesia, memberi secercah harapan baru bagi warga Gaza. Di beberapa wilayah, relawan mulai membersihkan puing-puing, membangun dapur umum, dan menyalakan kembali lampu-lampu kecil yang padam.

Setiap langkah kecil menuju pemulihan terasa begitu besar artinya bagi mereka yang kehilangan segalanya. Di tengah kehancuran, setiap senyum, setiap doa, menjadi penanda bahwa kehidupan akan terus berjalan.

Namun, tantangan masih panjang. Blokade yang berkepanjangan dan ketegangan politik yang belum reda bisa kapan saja menggagalkan upaya pemulihan. Karena itu, berbagai pihak menyerukan pentingnya solusi politik yang adil agar penderitaan rakyat Gaza tidak berulang.

Dalam konteks inilah, suara moral dari para cendekiawan dan tokoh keagamaan kembali bergema. Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute, menyatakan bahwa keberlanjutan perdamaian di Gaza bergantung pada kemauan politik dunia untuk menegakkan keadilan.

“Selama penjajahan masih berlangsung, perdamaian hanya akan menjadi jeda di antara dua peperangan,” ujarnya. Fahmi menekankan perlunya dukungan nyata bagi kemerdekaan Palestina agar Gaza benar-benar bisa hidup damai dan bermartabat.

Fahmi juga menilai, sikap Indonesia yang konsisten membela Palestina adalah bentuk keberpihakan terhadap nilai kemanusiaan universal. Ia berharap negara-negara lain mengikuti langkah serupa, menjadikan Gaza bukan lagi ladang penderitaan, tetapi ladang harapan. “Bantuan memang penting, tapi yang lebih penting adalah memastikan penderitaan ini tidak terulang,” tambahnya.

Kini, meski langit Gaza masih berasap, ada cahaya yang perlahan menembus awan duka itu. Cahaya dari solidaritas dunia, doa jutaan umat, dan komitmen bangsa-bangsa seperti Indonesia yang menolak berpaling dari penderitaan. Di antara reruntuhan itu, Gaza sedang belajar berdiri kembali dengan keyakinan bahwa meski luka masih menganga, masa depan yang lebih damai pasti akan tiba.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|